Senin, 26 Maret 2018

DISKUSI KASUS : Membumikan teori asah analisis


KASUS 1 : Badrun, mhs kom UB, sedang kerja magang di Hotel Savanah (HS) Malang. Badrun mendapat tugas dari Manajer PR HS untuk melakukan monitoring terhadap pemberitaan surat kabar. Badrun diminta melakukan: (a) klipping opini pembaca yang dimuat di surat kabar tentang HS; (b) analisis berita-berita surat kabar di rubrik seputar Malang, untuk mengetahui tema-tema beritanya. Mendapat tugas itu, Badrun bertanya-tanya dalam hati: “Untuk apa saya melakukan klipping? Untuk apa tema-tema pemberitaan selama 3 bulan harus saya pantau?”
 “Bantulah si Badrun untuk menjawab pertanyaannya. Gunakan landasan teoritis untuk argument anda”

Dalam kasus tersebut apa yang dilakukan manajer PR Hotel Savanah Malang terhadap Badrun, mahasiswa komunikasi Universitas Brawijaya yang sedang bekerja magang adalah sesuai dengan fungsi public relations sebagai penguhubung antara organisasi dan lingkungannya, yang dikenal dengan istilah “boundary spanning”. Kriyantono (2014, h.86) menjelaskan bahwa melalui fungsi tersebut, seorang public relations akan berinteraksi dengan lingkungannya untuk monitoring, seleksi, dan menghimpun informasi. Informasi tersebut yang kemudian disampaikan kepada kelompok dominan dalam organisasi. White & Dozier (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.87) mengatakan bahwa  yang dimaksud dengan kelompok dominan (dominant coalition) adalah kumpulan orang-orang (para manajer senior) yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan mengontrol operasional organisasi”. Jika Badrun bertanya alasan melakukan klipping dan memantau pemberitaan selama 3 bulan, jawabannya adalah sebagai upaya pencegahan dini untuk meminimalkan atau mengurangi masalah yang akan ditimbulkan pada perusahaan atau organisasi. Dengan cara klipping opini pembaca, analisis tema berita-berita pada surat kabar maka seorang public relation dapat mengetahui isu yang berpotensi memengaruhi aktivitas organisasi, dan memberi rekomendasi terhadap kelompok dominan tentang strategi mengolah isu agar tidak berkembang menjadi sebuah krisis. Hal ini dilakukan, jika tidak dipantau atau monitoring dikhawatirkan ada isu-isu tertentu mengenai perusahaan atau organisasi yang akan berdampak pada perusahaan tersebut, dalam kasus ini yakni Hotel Savanah Malang. Alasan lain yang dapat digunakan dalam memecahkan pertanyaan Badrun dapat dikaitkan dengan teori spiral of silence yang mana sebuah media massa memiki potensi besar dalam membentuk opini publik. Sesuai dengan teori tersebut, jika seorang public relations tidak secara cermat mengamati lingkungan sekitar, maka akan opini publik yang terbentuk akibat adanya media massa berimplikasi langsung terhadap citra sebuah perusahaan atau organisasi. Jika opini publik yang terbentuk positif, hal ini akan berdampak positif pula pada perusahaan. Akan tetapi, jika sebaliknya opini yang terbentuk negatif, hal ini berpengaruh terhadap kepercayaan pada masyarakat dan citra terhadap sebuah perusahaan tersebut. Kriyantono (2014, h.207) mengatakan bahwa individu akan sulit menghindari dari terpaan media massa, mulai dari menonton televisi, membaca koran, mendengarkan radio, hingga terpaan media online (ubiquitous). Informasi di media juga cenderung homogen, artinya adanya kecenderungan dalam menampilkan informasi yang sama berulang kali. Sifat media massa yang demikian lah membuat public relations harus melakukan apa yang dilakukan Badrun dengan memantau pemberitaan yang beredar. Dikarenakan, apabila media secara terus menerus melakukan pemberitaan yang sama akan mendorong terbangunnya persepsi dan opini yang akan tersebar luas hingga menjadi opini mayoritas. Penelitan Kim, dkk (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.208) mengungkapkan bahwa jika terjadi perbedaan antara pengamatan terhadap opini yang berkembang di masyarakat dan media, indiviidu akan cenderung mengikuti opini yang ada di media. Oleh sebab itu, peran media sangatlah besar bagi sebuah perusahaan atau organisasi berhubungan dengan bagaimana public relations menghadapai isu, pemberitaan ataupun informasi mengenai perusahaan yang beredar. Badrun yang mendapat tugas untuk melakukan klipping dan analisis berita yang beredar tidak lain bertujuan untuk mengetahui opini masyarakat yang berkembang dan dapat digunakan sebagai acuan dalam strategi public relations untuk menanggapi isu atau informasi yang beredar agar tidak sampai menjadi sebuah krisis permasalahan perusahaan atau menjadikan sebuah referensi dalam menyusun dan merencanakan startegi public relation yang tepat bagi perusahaan atau organisasi.



KASUS 2 : Seorang wartawan melakukan wawancara dengan humas UB tentang terjadinya suatu kebijakan. UB membuat kebijakan baru, yaitu melarang mahasiswa merokok di areal kampus UB. Saat ditanya wartawan, humas UB menjawab: “Saya belum bisa memberikan jawaban sekarang.. Sy mesti meminta izin dulu ke pimpinan”.
 “efektifkah jawaban humas itu dalam konteks publisitas media? Mengapa?”
“Berfungsikah humas itu? Berikan penjelasan teoritis”


Grunig & Hunt (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.91) menjelaskan bahwa ada empat model yang dapat diterapkan praktisi public relations dalam menjalin hubungan dengan publik. Model ini dapat juga disebut sebagai tipe proses kegiatan public relations. Keempat model tersebut antara lain adalah Press Agentry, Public Information, Two-Way Asymetric, dan Two-Way Symmetric. Salah satu dari empat model tersebut adalah Press Agentry atau publisitas. Apabila public relations menerapkan model tersebut, maka terjadi proses diseminasi informasi bergerak satu arah (one way communication) dari organisasi ke publik. Jawaban dari humas UB terhadap wartawan tersebut dalam konteks publisitas menurut saya kurang efektif, dikarenakan tujuan publisitas adalah upaya meraih perhatian dan liputan media. Jika seorang narasumber khsuusnya dalam hal ini seorang humas menjawab dengan pernyataan seperti kasus diatas, bahwa tidak dapat memberikan jawaban dan akan meminta izin kepada pimpinan akan dinilai media kurang memberi informasi yang sesuai dan menimbulkan ketidakpastian atau keraguan di mata publik. Akan tetapi apa yang di lakukan humas tersebut dalam menanggapi pertanyaan wartawan dapat dikaitkan dengan teori uncertainty reduction. Berger & Calabrese (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.140) menjelaskan teori ini tentang bagaimana menggunakan komunikasi untuk mengurangi keraguan, memahami orang lain dan diri anda, dan membuat prediksi tentang perilaku orang lain ketika berinteraksi dengan orang lain saat pertama bertemu. Disini humas memiliki motivasi untuk mengurangi ketidakpastian saat berkomunikasi dengana wartawan. Ketidakpastian sendiri memiliki makna berupa ketidakmampuan individu untuk memprediksi atau menjelaskan perilakunya dan perilaku orang lain. Dalam kasus tersebut, humas UB tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan yang dberikan seorang wawancara dan mengatakan untuk meminta izin pada pimpinan. Sangat jelas terlihat bahwa sikap humas menunjukkan sebuah keraguan dalam mengemukakan pendapatnya. Fungsi komunikasi berjalan dengan baik pada kasus ini, sesuai bahwa komunikasi menjadi alat untuk mengurangi ketidakpastian, dengan dua peran komunikasi. Seperti yang dijelaskan Kriyantono (2014, h.141) peran komunikasi digunakan untuk mendapatkan informasi tentang lawan bicara, karena cenderung menjadi tidak pasti tentang apa yang dirasakan atau perasaan orang tersebut, motif orang itu, rencananya, ataupun tujuannya. Humas UB berusaha memilih persepsi yang tepat dalammenanggapi hal tersebut yang dilakukan dengan mencari informasi lain dan ketidakpastian itu juga dirasakan oleh wartawan yang mewawancarainya. Sependapat dengan Littlejohn & Foss (dikutip dari Kriyantono, h.142) yang mengatakan bahwa pada situasi yang ketidakpastiannya tinggi, semakin tergantung pada data yang tersedia dalam situasi itu. Seseorang akan lebih sadar (concious) dan berhati-hati (mindful) terhadap keputusan perlakuan. Ketidakpastian yang terjadi dalam situasi tersebut, dapat dikatakan tergolong pada ketidakpastian kognisi (cognitive uncertainty) sesuai dengan pendapat jenis ketidakpastian oleh Berger dan Bradag (dikutip dari Kriyantono, 2014 h.144-145) yang mana dalam kasus ini,  humas UB merasa tidak yakin dan menemui kesulitan untuk menentukan dalam menyikapi respon itu. Fungsi humas UB masih belum berjalan dengan baik, karena seorang public relations bertujuan dalam menciptakan citra positif dan mendukung reptasi positif organisasi di mata publik yang harus dalam kondisi kecukupan informasi (well-informed). Health (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.148) menyarankan praktisi public relations untuk meminimalkan ketidakpastian dengan menerapkan strategis komuniaksi antara lain apabila tidak dapat menyediakan informasi dengan baik, public relations harus menjelaskan alasannya (penting apalagi di saat krisis).



KASUS 3 : Marmud adalah karyawan PT Makmur Sekali (MS). Marmud dikenal memiliki prestasi bagus, produktivitas kerja tinggib dan kreatif. Dia sering berkontribusi dalam meningkatkan penjualan produk karena kemampuannya menawarkan produk dan mencari konsumen. Tetapi, di sisi lain, Marmud dikenal juga sebagai trouble maker. Dia sering berulah, seperti sering membolos, sering bertengkar dengan rekan kerja, lebih suka bekerja sendiri daripada dengan tim. Tentu saja beberapa rekan kerja tidak menyukainya.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh manajer MS menghadapi kasus ini?


Kriyantono (2014, h.245) mengatakan bahwa proses komunikasi yang terjadi dalam suatu organisasi sangat ditentukan oleh pemahaman para manajer termasuk praktisi public relations pada teori motivasi. Komunikasi merupakan proses dimana seorang manajer dapat menggunakan pengaruhnya terhadap karyawan. Dalam kasus diatas, Marmud merupakan karyawan yang memiliki prestasi bagus, produktivitas kerja tinggi, kreratif, sering berkontribusi dalam meningkatkan penjualan produk. Akan tetapi, ada sisi negatif dari Marmud yang sering membolos, suka bekerja sendiri, dan membuat kerusuhan di lingkungan kerja. Dalam hal ini, sikap manajer yang harus dilakukan dapat berlandaskan atau mengacu pada teori X dan Y dalam teori motivasi dan gaya manajerial. Kriyantono (2014, h.246) menjelaskan bahwa setiap organisasi mempunyai tipe kepemimpinan (manajerial) yang berbeda-beda.  Quaal & Brown (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.246) mendeskripsikan mengenai Teori X sebagai upaya untuk mengelola orang dengan memotivasi mereka sejak awal dengan kekuatan fisik dan kekuasaan. Teori X ini berasumsi setiap individu mempunyai pembawaan sifat tidak suka bekerja (tidak mempunyai motivasi untuk bekerja), karena itu pemberian motivasi dari pihak luar (dalam hal ini manajer) sangat diperlukan. Sikap Marmud yang sering membolos sesuai dengan apa Teori X katakan, hal ini perlu pemberian motivasi oleh manajer bagaimana untuk meningkatkan kinerja karyawannya yang berpotensial atau berprestasi agar lebih giat dalam bekerja untuk kebaikan perusahaan juga. Dalam pelaksanaannya manajer dapat mengambil atau mengadopsi dari gaya manajerial yang dikemukakan oleh Likert atau yang biasa dikenal Likert’s Four Systems yang mana gaya atau sitem manajerial berdasarkan pada suatu analisi beberapa variabel manajerial yakni motivasi, omunikais, interaksi, pengambilan keputusan, pengawasan, level tanggung jawab, dan kinerja. Likert (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.249-252) membagi kedalam 4 tipe manajerial antara lain :
1.      Sistem 1 : Gaya penguasa mutlak ( the exploitative authorirative)
2.      Sistem 2 : Gaya semi mutlak (the benevolent authoritative system)
3.      Sistem 3 : Gaya penasihat (the consultative system)
4.      Sistem 4 : Gaya pengajak-serta (the participative management system)

         Dalam kasus Marmud ini, disarankan untuk manajer PT Makmur Sekali menerapkan keempat sistem dengan mencampurkan atau mengkombinasikan beberapa kategori dari sistem yang berbeda. Likert dalam teorinya menyatakan bahwa keempat sistem tersebut tidak dapat terpisah satu sama lain, dan yang sering terjadi adalah pencampuran keempat sistem tersebut. Sesuai dengan permasalahan pada kasus diatas. Dalam kategori motivasi dapat menerapkan pada sistem 2 yakni motivasi dilakukan dengan memberikan penghargaan dan juga sanksi untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Pada pengawasan dapat menerapkan pada sistem 1 yakni memberi bimbingan sepenuhnya dan pengawasan ketat pada karyawan, agar budaya malas dapat diminimalisir. Selanjutnya, dalam kategori interaksi dapat mengadopsi pada sistem 4 yakni interaksi cukup sering pada atasan dan bawahan. Pada pengambilan keputusan pada sistem 4 yakni karyawan mulai dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Sedangkan untuk kategori komunikasi dan level tanggung jawab pada tujuan organisasi disarankan mengadopsi sistem 3 yang mana komunikasi dua arah dari atas ke bawah dapat mengurangi persaingan antar kelompok, dan karyawan tidak hanya manajer juga mulai perhatian dan komitmen dalam pencapaian tujuan organisasi. Ini diharapkan karyawan yang malas lebih memiliki rasa saling memiliki untuk meningkatkan produktivitas kerja dalam sebuah organisasi. Terakhir, pada kinerja dapat menerapkan sistem 4 agar tetap mempertahankan pada produktivitas kerja tingkat tinggi, kepuasan yang tinggi, dan turnover yang rendah.



KASUS 4 : SDA tiba-tiba muncul dalam kampanye Prabowo saat pilpres dan menyatakan secara terbuka mendukung Prabowo. Aksi SDA ini mendapat protes dari sejumlah anggota partai, baik di Dewan pimpinan pusat maupun di daerah. Ada yang menyebut aksi SDA sebagai pendapat pribadi dan tidak mewakili partai.
Saat peresmian Gedung FISIP A dan B menjadi nama dua professor, muncul berbagai reaksi, baik dari mahasiswa, staf maupun dosen. Ada yang mengatakan: “lho darimana ide itu? Siapa yg memprakarsainya? Apa dasarnya? Wah.. Biasanya nama gedung diambil dari mereka yg sdh berpulang, hayo siapa yang berani menempati professor X?
- Menjelaskan secara teoritis, respon terhadap peristiwa di atas? Kesalahannya di mana?

Pada kemunculan SDA secara tiba-tiba dan menyatakan secara terbuka untuk mendukung Prabowo, sejumlah anggota partai baik di Dewan pimpinan pusat maupun daerah mengeluarkan bentuk protes. Protes yang dilakukan berkaitan dengan Teori atribusi ( attribution theory ) yang membahas tentang bagaimana individu menarik kesimpulan tentang penyebab dari suatu perilaku, baik itu perilaku dirinya maupun perilaku seseorang (termasuk organisasi) lainnya. Perilaku komunikasi dipengaruhi oleh atribusi seseorang terhadap dirinya maupun lawan bicara. Komunikasi yang efektif terjadi karena kesalahan interpretasi, karena atribusi adalah hasil interpretasi terhadap motif maupun perilaku tertentu (Kriyantono, 2014, h.171). Dalam kasus ini, menyatakan bahwa SDA yang tiba-tiba muncul dalam kampanye Prabowo membuat sejumlaha anggota partai menarik kesimpulan bahwa mendapat yang dikemukan oleh SDA tidak berkaitan dengan partai.
Selanjutnya, kasus peresmian Gedung A dan B yang memunculkan beragam reaksi, pertanyaan, dan spekulasi jika ditelaah lebih lanjut terdapat sebuah kesalahan yang merujuk pada konsep noise yang dalam komunikadi menyebabakan munculnya konsep entropy. Entropy diartikan sebagai situasi ketidakpastian, situasi yang tidak jelas, situasi yang tidak teratur atau yang meragukan. Munculnya beragam spekulasi tentang asal-usul dalam penamaan gedung dan timbul beragam pertanyaan yang simpang siur dan tidak jelas asal usulnya dapat dikatakan sebuah entropy. Kriyantono (2014, h.135) menjelaskan bahwa dalam situasi ini seseorang membutuhkan sesuatu yang dinamakan informasi yang digunakan untuk mengurangi ketidakpastian ini. Sendjaja (dikutip dari Kriyantono, 2014 h. 135) bahwa informasi menurut teori informasi dapat diartikan sebagai “jumlah ketidak pastian yang dapat diukur dengan cara mereduksi sejumlah alternatif pilihan yang tersedia atau dengan mengurangkannya melalui pemakaian alternatif yang tersedia”. Dalam hal ini masih terdapat banyak ketidakpatian akan kebenaran informasi sumber yang ada berkaitan dengan asal-usul penamaan. Menurut Kriyantono ( 2014, h.136) karakteristik informasi adalah semakin seseorang berada dalam ketidakpastian, maka semakin banyak alternatif pilihan atau informasi yang digunakannya. Atau sebaliknya, semakin banyak informasi yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi seseorang berada dalam ketidakpastian. Hal ini dapat kita temui dalam kasus diatas, bahwa muncul ketidakpastian akan asal-usul penamaan gedung A dan B karena informasi yang didapatkan semakin banyak. Kualitas  informasi lah yang menentukan nilai kebenaran informasi yang digunakan untuk mereduksi sejumlah alternatif pilihan dan mengurangi ketidak pastian yang ada. Untuk itu, perlu mencari informasi yang benar, berkulitas dan terpercaya untuk menjawab berbagai ketidakpastian akan kebeneran informasi. Berbagai ganggaun inilah yang pada akhirnya akan menyebabkan kesalahan persepsi atau miscomunication sehingga pesan yang disampaikan public relations akan dipersepsi berbeda oleh publik. Upaya dalam mengurangi atau bertanya sejumlah alternatif pilihan ini disebut dengan redundancy (Kriyantono, 2014, h.137). Kasus ini juga bisa diidentifikasi dengan menggunakan Teori Situational of the Publics melalui variabel problem recognition dan constraint recognition Grunig & Hunt( dikutip dari Kriyantono, 2014, h. 158) yang menyatakan bahwa individu akan berpikir atau berkomunikasi tentang suatu isu hanya jika mereka menyadari (mendeteksi) kehadiran isu tersebut. Seseorang akan merespons suatu masalah yang muncul dari situasi eksternal, baik lingkungan maupun sistem sosialnya  yang muncul dari dalam dirinya, seperti kurang pemahaman akan situasi yang terjadi. Situasi dalam kasus ini mengenai penamaan gedung yang menjadi permasalahan bagi mahasiswa, staf, maupun dosen yang muncul sebagai reaksi atas ketidakpahaman terhadap kondisi tertentu. Akan tetapi, menurut saya dalam kondisi ini mahasiswa, satf, maupun dosen masih bersikap pasif dalam mencari informasi terkait penamaan gedung baru tersebut.

KASUS 5 : PT Hidup Sejahtera (HS) adalah perusahaan dengan produk asuransi jiwa. Perusahaan ini adalah perusahaan besar. Tetapi, ternyata kalah dengan perusahaan Besar Sekali (BS) yang berada di sebelahnya. BS bergerak di bidang jasa catering. BS sering mendapat liputan media.
Jelaskan:
Apa yg hrs dilakukan HS?

Dalam kasus ini kedua perusahaan memiliki segmentasi yang berbeda, perusahaan BS sering mendapat liputan media sedangkan perusahaan PT Hidup Sejahtera, sebaliknya. Strategi yang dapat dilakukan oleh perusahaan HS adalah terkait dengan publisitas/ model press agentry. Kriyantono (2014, h.91) menjelaskan bahwa model ini merupakan bentuk tertua dari public relations yang muncul pada tahun 1850. Hingga pada tahun 1900, model ini masih menjadi model utama yang mana public relations banyak melakukan propaganda atau kampanye untuk tujuan pubisitas media yang menguntungkan pihaknya. Dalam konsep ini, penggunaan model press agentry bertujuan untuk meraih perhatian dan liputan media. Strategi ini dapat diterapkan oleh public relations perusahaan HS dengan tujuan mendapatkan publisitas dan perhatian media.  Berkaitan dengan hal itu, manajamen impresi berkaitan dengan strategi individu atau organisasi untuk mempresentasikan dirinya selama interaksi dengan pihak lain (Kriyantono, 2014, h.222). Strategi ini diterapkan agar pihak tertentu dapat mengenal sebuah organisasi atau perusahaan menggunakan atribut atau simbol tertentu dalam upaya presentasi diri. Konsep presentasi diri sendiri diterapkan untuk menjelaskan bagaimana individu dapat membentuk maupun membangun impresi orang lain. Ini diperlukan oleh perusahaan HS agar mendapatkan perhatian oleh khalayak. Jones (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.222) menyatakan bahwa ada lima tipologi presentasi diri yakni : Strategi integration (menyenangkan orang lain), strategi self promotion (promosi diri), startegi exemplification (sebagai contoh), strategi supplication (self handicapping) dan strategi intimdation. Kasus yang dialami HS dapat menerapkan salah satu tipologi presentasi diri yakni strategi self promotion (promosi diri) , yang digunakan agar diimpresikan sebagai organisasi yang kompeten, khususnya pada bidang jasa sesuai dengan segmen perusahaan HS dengan strategi yang dilaksanakan dengan cara menampilkan prestasi yang dicapai, hal-hal baik terhadap publik, ataupun dapat menampilkan berbagai penghargaan yang diperoleh atas prestasi perusahaan. Adapun startegi tersebut selain akan mempromosikan diri juga diharapkan akan memperoleh perhatian publik khususnya media. Tidak kalah penting dan menarik bahwa Teori Agenda building- Information Subsidies menjadi teori yang digunakan sebagai dasar mendapat pemberitaan media. Seperti yang dijelaskan oleh Kriyantono (2014, h.325) bahwa teori ini menjadi dasar bagi public relations untuk membuat program yang dapat memengaruhi agenda media. Menjadi agenda media berarti program public relations mendapat liputan media berkali-kali karena dianggap sesuatu yang penting. Hal ini sangat menguntungkan bagi perusahaan sebagai strategi pencitraan organisasi. Kriyantono (2014, h.328-329) menambahkan bahwa seorang public relations harus memanfaatkan media massa sebagai mitra dalam menyebarkan informasi tentang organisasi atau perusahaan. Media massa memiliki peranan penting dalam praktik public relations, karena memiliki pengaruh dalam membentuk opini publik dan kemampuannya dalam mentransmisikan serta menggandakan pesan secara cepat ditambah bagaiamana  media itu dapat menjangkau khalayak yang besar. Upaya inilah yang dinamakan publisitas, yakni pesan yang direncanakan, dieksekusi, dan didistribusikan melalui media massa untuk memenuhi kepentingan publik tanpa membayar pada media. Asumsinya, bahwa semakin sering informasi tetang organisasi yang  dimuat oleh media, maka semakin besar pula perhatian publik yang didapatkan. Tentunya ini akan berpengaruh pada organisasi atau perusahaan sesuai denga kasus yang dialami perusahaan HS diatas.


DAFTAR PUSTAKA
Kriyantono, R. (2014). Teori-Teori Public Relations Perspektif Barat & Lokal : Aplikasi Penelitian dan Praktik. Jakarta: Kencana.