KASUS 1 : Badrun, mhs kom UB, sedang kerja magang di Hotel
Savanah (HS) Malang. Badrun mendapat tugas dari Manajer PR HS untuk melakukan
monitoring terhadap pemberitaan surat kabar. Badrun diminta melakukan: (a)
klipping opini pembaca yang dimuat di surat kabar tentang HS; (b) analisis
berita-berita surat kabar di rubrik seputar Malang, untuk mengetahui tema-tema
beritanya. Mendapat tugas itu, Badrun bertanya-tanya dalam hati: “Untuk apa
saya melakukan klipping? Untuk apa tema-tema pemberitaan selama 3 bulan harus
saya pantau?”
“Bantulah si Badrun untuk
menjawab pertanyaannya. Gunakan landasan teoritis untuk argument anda”
Dalam kasus tersebut apa yang dilakukan manajer PR Hotel
Savanah Malang terhadap Badrun, mahasiswa komunikasi Universitas Brawijaya yang
sedang bekerja magang adalah sesuai dengan fungsi public relations sebagai penguhubung antara organisasi dan
lingkungannya, yang dikenal dengan istilah “boundary
spanning”. Kriyantono (2014, h.86) menjelaskan bahwa melalui fungsi
tersebut, seorang public relations akan
berinteraksi dengan lingkungannya untuk monitoring,
seleksi, dan menghimpun informasi. Informasi tersebut yang kemudian disampaikan
kepada kelompok dominan dalam organisasi. White & Dozier (dikutip dari
Kriyantono, 2014, h.87) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kelompok dominan (dominant coalition) adalah kumpulan
orang-orang (para manajer senior) yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan
mengontrol operasional organisasi”. Jika Badrun bertanya alasan melakukan
klipping dan memantau pemberitaan selama 3 bulan, jawabannya adalah sebagai
upaya pencegahan dini untuk meminimalkan atau mengurangi masalah yang akan
ditimbulkan pada perusahaan atau organisasi. Dengan cara klipping opini
pembaca, analisis tema berita-berita pada surat kabar maka seorang public relation dapat mengetahui isu
yang berpotensi memengaruhi aktivitas organisasi, dan memberi rekomendasi terhadap
kelompok dominan tentang strategi mengolah isu agar tidak berkembang menjadi
sebuah krisis. Hal ini dilakukan, jika tidak dipantau atau monitoring dikhawatirkan ada isu-isu tertentu mengenai perusahaan
atau organisasi yang akan berdampak pada perusahaan tersebut, dalam kasus ini yakni
Hotel Savanah Malang. Alasan lain yang dapat digunakan dalam memecahkan
pertanyaan Badrun dapat dikaitkan dengan teori spiral of silence yang mana sebuah media massa memiki potensi besar
dalam membentuk opini publik. Sesuai dengan teori tersebut, jika seorang public relations tidak secara cermat
mengamati lingkungan sekitar, maka akan opini publik yang terbentuk akibat
adanya media massa berimplikasi langsung terhadap citra sebuah perusahaan atau
organisasi. Jika opini publik yang terbentuk positif, hal ini akan berdampak
positif pula pada perusahaan. Akan tetapi, jika sebaliknya opini yang terbentuk
negatif, hal ini berpengaruh terhadap kepercayaan pada masyarakat dan citra terhadap
sebuah perusahaan tersebut. Kriyantono (2014, h.207) mengatakan bahwa individu
akan sulit menghindari dari terpaan media massa, mulai dari menonton televisi,
membaca koran, mendengarkan radio, hingga terpaan media online (ubiquitous). Informasi di media juga
cenderung homogen, artinya adanya kecenderungan dalam menampilkan informasi yang
sama berulang kali. Sifat media massa yang demikian lah membuat public relations harus melakukan apa
yang dilakukan Badrun dengan memantau pemberitaan yang beredar. Dikarenakan,
apabila media secara terus menerus melakukan pemberitaan yang sama akan
mendorong terbangunnya persepsi dan opini yang akan tersebar luas hingga
menjadi opini mayoritas. Penelitan Kim, dkk (dikutip dari Kriyantono, 2014,
h.208) mengungkapkan bahwa jika terjadi perbedaan antara pengamatan terhadap
opini yang berkembang di masyarakat dan media, indiviidu akan cenderung
mengikuti opini yang ada di media. Oleh sebab itu, peran media sangatlah besar
bagi sebuah perusahaan atau organisasi berhubungan dengan bagaimana public relations menghadapai isu, pemberitaan
ataupun informasi mengenai perusahaan yang beredar. Badrun yang mendapat tugas
untuk melakukan klipping dan analisis berita yang beredar tidak lain bertujuan
untuk mengetahui opini masyarakat yang berkembang dan dapat digunakan sebagai
acuan dalam strategi public relations
untuk menanggapi isu atau informasi yang beredar agar tidak sampai menjadi
sebuah krisis permasalahan perusahaan atau menjadikan sebuah referensi dalam
menyusun dan merencanakan startegi public
relation yang tepat bagi perusahaan atau organisasi.
KASUS
2 : Seorang wartawan melakukan wawancara dengan humas UB
tentang terjadinya suatu kebijakan. UB membuat kebijakan baru, yaitu melarang
mahasiswa merokok di areal kampus UB. Saat ditanya wartawan, humas UB menjawab:
“Saya belum bisa memberikan jawaban sekarang.. Sy mesti meminta izin dulu ke
pimpinan”.
“efektifkah jawaban humas itu
dalam konteks publisitas media? Mengapa?”
“Berfungsikah
humas itu? Berikan penjelasan teoritis”
Grunig & Hunt (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.91)
menjelaskan bahwa ada empat model yang dapat diterapkan praktisi public relations dalam menjalin hubungan
dengan publik. Model ini dapat juga disebut sebagai tipe proses kegiatan public relations. Keempat model tersebut
antara lain adalah Press Agentry, Public Information, Two-Way Asymetric, dan
Two-Way Symmetric. Salah satu dari
empat model tersebut adalah Press Agentry
atau publisitas. Apabila public relations
menerapkan model tersebut, maka terjadi proses diseminasi informasi
bergerak satu arah (one way communication)
dari organisasi ke publik. Jawaban dari humas UB terhadap wartawan tersebut
dalam konteks publisitas menurut saya kurang efektif, dikarenakan tujuan
publisitas adalah upaya meraih perhatian dan liputan media. Jika seorang
narasumber khsuusnya dalam hal ini seorang humas menjawab dengan pernyataan
seperti kasus diatas, bahwa tidak dapat memberikan jawaban dan akan meminta
izin kepada pimpinan akan dinilai media kurang memberi informasi yang sesuai
dan menimbulkan ketidakpastian atau keraguan di mata publik. Akan tetapi apa
yang di lakukan humas tersebut dalam menanggapi pertanyaan wartawan dapat
dikaitkan dengan teori uncertainty
reduction. Berger & Calabrese (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.140)
menjelaskan teori ini tentang bagaimana menggunakan komunikasi untuk mengurangi
keraguan, memahami orang lain dan diri anda, dan membuat prediksi tentang
perilaku orang lain ketika berinteraksi dengan orang lain saat pertama bertemu.
Disini humas memiliki motivasi untuk mengurangi ketidakpastian saat berkomunikasi
dengana wartawan. Ketidakpastian sendiri memiliki makna berupa ketidakmampuan
individu untuk memprediksi atau menjelaskan perilakunya dan perilaku orang lain.
Dalam kasus tersebut, humas UB tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan
yang dberikan seorang wawancara dan mengatakan untuk meminta izin pada
pimpinan. Sangat jelas terlihat bahwa sikap humas menunjukkan sebuah keraguan
dalam mengemukakan pendapatnya. Fungsi komunikasi berjalan dengan baik pada
kasus ini, sesuai bahwa komunikasi menjadi alat untuk mengurangi
ketidakpastian, dengan dua peran komunikasi. Seperti yang dijelaskan Kriyantono
(2014, h.141) peran komunikasi digunakan untuk mendapatkan informasi tentang
lawan bicara, karena cenderung menjadi tidak pasti tentang apa yang dirasakan
atau perasaan orang tersebut, motif orang itu, rencananya, ataupun tujuannya. Humas
UB berusaha memilih persepsi yang tepat dalammenanggapi hal tersebut yang dilakukan
dengan mencari informasi lain dan ketidakpastian itu juga dirasakan oleh
wartawan yang mewawancarainya. Sependapat dengan Littlejohn & Foss (dikutip
dari Kriyantono, h.142) yang mengatakan bahwa pada situasi yang
ketidakpastiannya tinggi, semakin tergantung pada data yang tersedia dalam
situasi itu. Seseorang akan lebih sadar (concious)
dan berhati-hati (mindful) terhadap
keputusan perlakuan. Ketidakpastian yang terjadi dalam situasi tersebut, dapat
dikatakan tergolong pada ketidakpastian kognisi (cognitive uncertainty) sesuai dengan pendapat jenis ketidakpastian
oleh Berger dan Bradag (dikutip dari Kriyantono, 2014 h.144-145) yang mana
dalam kasus ini, humas UB merasa tidak
yakin dan menemui kesulitan untuk menentukan dalam menyikapi respon itu. Fungsi
humas UB masih belum berjalan dengan baik, karena seorang public relations bertujuan dalam menciptakan citra positif dan
mendukung reptasi positif organisasi di mata publik yang harus dalam kondisi
kecukupan informasi (well-informed).
Health (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.148) menyarankan praktisi public relations untuk meminimalkan
ketidakpastian dengan menerapkan strategis komuniaksi antara lain apabila tidak
dapat menyediakan informasi dengan baik, public
relations harus menjelaskan alasannya (penting apalagi di saat krisis).
KASUS
3 : Marmud adalah karyawan PT Makmur Sekali (MS). Marmud
dikenal memiliki prestasi bagus, produktivitas kerja tinggib dan kreatif. Dia
sering berkontribusi dalam meningkatkan penjualan produk karena kemampuannya
menawarkan produk dan mencari konsumen. Tetapi, di sisi lain, Marmud dikenal
juga sebagai trouble maker. Dia sering berulah, seperti sering membolos, sering
bertengkar dengan rekan kerja, lebih suka bekerja sendiri daripada dengan tim.
Tentu saja beberapa rekan kerja tidak menyukainya.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh manajer MS menghadapi kasus ini?
Kriyantono (2014, h.245) mengatakan bahwa proses
komunikasi yang terjadi dalam suatu organisasi sangat ditentukan oleh pemahaman
para manajer termasuk praktisi public
relations pada teori motivasi. Komunikasi merupakan proses dimana seorang
manajer dapat menggunakan pengaruhnya terhadap karyawan. Dalam kasus diatas,
Marmud merupakan karyawan yang memiliki prestasi bagus, produktivitas kerja
tinggi, kreratif, sering berkontribusi dalam meningkatkan penjualan produk. Akan
tetapi, ada sisi negatif dari Marmud yang sering membolos, suka bekerja
sendiri, dan membuat kerusuhan di lingkungan kerja. Dalam hal ini, sikap
manajer yang harus dilakukan dapat berlandaskan atau mengacu pada teori X dan Y
dalam teori motivasi dan gaya manajerial. Kriyantono (2014, h.246) menjelaskan
bahwa setiap organisasi mempunyai tipe kepemimpinan (manajerial) yang
berbeda-beda. Quaal & Brown (dikutip
dari Kriyantono, 2014, h.246) mendeskripsikan mengenai Teori X sebagai upaya
untuk mengelola orang dengan memotivasi mereka sejak awal dengan kekuatan fisik
dan kekuasaan. Teori X ini berasumsi setiap individu mempunyai pembawaan sifat
tidak suka bekerja (tidak mempunyai motivasi untuk bekerja), karena itu
pemberian motivasi dari pihak luar (dalam hal ini manajer) sangat diperlukan. Sikap
Marmud yang sering membolos sesuai dengan apa Teori X katakan, hal ini perlu
pemberian motivasi oleh manajer bagaimana untuk meningkatkan kinerja
karyawannya yang berpotensial atau berprestasi agar lebih giat dalam bekerja
untuk kebaikan perusahaan juga. Dalam pelaksanaannya manajer dapat mengambil
atau mengadopsi dari gaya manajerial yang dikemukakan oleh Likert atau yang
biasa dikenal Likert’s Four Systems yang mana gaya atau sitem manajerial
berdasarkan pada suatu analisi beberapa variabel manajerial yakni motivasi,
omunikais, interaksi, pengambilan keputusan, pengawasan, level tanggung jawab,
dan kinerja. Likert (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.249-252) membagi kedalam
4 tipe manajerial antara lain :
1. Sistem 1 : Gaya penguasa mutlak ( the exploitative authorirative)
2. Sistem 2 : Gaya semi mutlak (the benevolent authoritative system)
3. Sistem 3 : Gaya penasihat (the consultative system)
4. Sistem 4 : Gaya pengajak-serta (the participative management system)
Dalam kasus Marmud ini, disarankan untuk manajer PT
Makmur Sekali menerapkan keempat sistem dengan mencampurkan atau
mengkombinasikan beberapa kategori dari sistem yang berbeda. Likert dalam
teorinya menyatakan bahwa keempat sistem tersebut tidak dapat terpisah satu
sama lain, dan yang sering terjadi adalah pencampuran keempat sistem tersebut.
Sesuai dengan permasalahan pada kasus diatas. Dalam kategori motivasi dapat
menerapkan pada sistem 2 yakni motivasi dilakukan dengan memberikan penghargaan
dan juga sanksi untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Pada pengawasan
dapat menerapkan pada sistem 1 yakni memberi bimbingan sepenuhnya dan
pengawasan ketat pada karyawan, agar budaya malas dapat diminimalisir. Selanjutnya,
dalam kategori interaksi dapat mengadopsi pada sistem 4 yakni interaksi cukup
sering pada atasan dan bawahan. Pada pengambilan keputusan pada sistem 4 yakni
karyawan mulai dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Sedangkan untuk kategori
komunikasi dan level tanggung jawab pada tujuan organisasi disarankan
mengadopsi sistem 3 yang mana komunikasi dua arah dari atas ke bawah dapat
mengurangi persaingan antar kelompok, dan karyawan tidak hanya manajer juga
mulai perhatian dan komitmen dalam pencapaian tujuan organisasi. Ini diharapkan
karyawan yang malas lebih memiliki rasa saling memiliki untuk meningkatkan
produktivitas kerja dalam sebuah organisasi. Terakhir, pada kinerja dapat
menerapkan sistem 4 agar tetap mempertahankan pada produktivitas kerja tingkat
tinggi, kepuasan yang tinggi, dan turnover
yang rendah.
KASUS
4 : SDA tiba-tiba muncul dalam kampanye Prabowo saat pilpres dan menyatakan
secara terbuka mendukung Prabowo. Aksi SDA ini mendapat protes dari sejumlah
anggota partai, baik di Dewan pimpinan pusat maupun di daerah. Ada yang
menyebut aksi SDA sebagai pendapat pribadi dan tidak mewakili partai.
Saat
peresmian Gedung FISIP A dan B menjadi nama dua professor, muncul berbagai
reaksi, baik dari mahasiswa, staf maupun dosen. Ada yang mengatakan: “lho
darimana ide itu? Siapa yg memprakarsainya? Apa dasarnya? Wah.. Biasanya nama
gedung diambil dari mereka yg sdh berpulang, hayo siapa yang berani menempati
professor X?
-
Menjelaskan secara teoritis, respon terhadap peristiwa di atas? Kesalahannya di
mana?
Pada kemunculan SDA secara tiba-tiba dan menyatakan
secara terbuka untuk mendukung Prabowo, sejumlah anggota partai baik di Dewan
pimpinan pusat maupun daerah mengeluarkan bentuk protes. Protes yang dilakukan
berkaitan dengan Teori atribusi ( attribution
theory ) yang membahas tentang bagaimana individu menarik kesimpulan
tentang penyebab dari suatu perilaku, baik itu perilaku dirinya maupun perilaku
seseorang (termasuk organisasi) lainnya. Perilaku komunikasi dipengaruhi oleh
atribusi seseorang terhadap dirinya maupun lawan bicara. Komunikasi yang
efektif terjadi karena kesalahan interpretasi, karena atribusi adalah hasil interpretasi
terhadap motif maupun perilaku tertentu (Kriyantono, 2014, h.171). Dalam kasus
ini, menyatakan bahwa SDA yang tiba-tiba muncul dalam kampanye Prabowo membuat
sejumlaha anggota partai menarik kesimpulan bahwa mendapat yang dikemukan oleh
SDA tidak berkaitan dengan partai.
Selanjutnya, kasus peresmian Gedung A dan B yang
memunculkan beragam reaksi, pertanyaan, dan spekulasi jika ditelaah lebih
lanjut terdapat sebuah kesalahan yang merujuk pada konsep noise yang dalam komunikadi menyebabakan munculnya konsep entropy. Entropy diartikan sebagai
situasi ketidakpastian, situasi yang tidak jelas, situasi yang tidak teratur
atau yang meragukan. Munculnya beragam spekulasi tentang asal-usul dalam
penamaan gedung dan timbul beragam pertanyaan yang simpang siur dan tidak jelas
asal usulnya dapat dikatakan sebuah entropy.
Kriyantono (2014, h.135) menjelaskan bahwa dalam situasi ini seseorang
membutuhkan sesuatu yang dinamakan informasi yang digunakan untuk mengurangi
ketidakpastian ini. Sendjaja (dikutip dari Kriyantono, 2014 h. 135) bahwa
informasi menurut teori informasi dapat diartikan sebagai “jumlah ketidak
pastian yang dapat diukur dengan cara mereduksi sejumlah alternatif pilihan
yang tersedia atau dengan mengurangkannya melalui pemakaian alternatif yang
tersedia”. Dalam hal ini masih terdapat banyak ketidakpatian akan kebenaran
informasi sumber yang ada berkaitan dengan asal-usul penamaan. Menurut Kriyantono
( 2014, h.136) karakteristik informasi adalah semakin seseorang berada dalam
ketidakpastian, maka semakin banyak alternatif pilihan atau informasi yang
digunakannya. Atau sebaliknya, semakin banyak informasi yang dimiliki
seseorang, maka semakin tinggi seseorang berada dalam ketidakpastian. Hal ini
dapat kita temui dalam kasus diatas, bahwa muncul ketidakpastian akan asal-usul
penamaan gedung A dan B karena informasi yang didapatkan semakin banyak. Kualitas
informasi lah yang menentukan nilai
kebenaran informasi yang digunakan untuk mereduksi sejumlah alternatif pilihan
dan mengurangi ketidak pastian yang ada. Untuk itu, perlu mencari informasi
yang benar, berkulitas dan terpercaya untuk menjawab berbagai ketidakpastian
akan kebeneran informasi. Berbagai ganggaun inilah yang pada akhirnya akan
menyebabkan kesalahan persepsi atau miscomunication
sehingga pesan yang disampaikan public
relations akan dipersepsi berbeda oleh publik. Upaya dalam mengurangi atau
bertanya sejumlah alternatif pilihan ini disebut dengan redundancy (Kriyantono, 2014, h.137). Kasus ini juga bisa
diidentifikasi dengan menggunakan Teori Situational
of the Publics melalui variabel problem recognition dan constraint
recognition Grunig & Hunt( dikutip dari Kriyantono, 2014, h. 158) yang
menyatakan bahwa individu akan berpikir atau berkomunikasi tentang suatu isu
hanya jika mereka menyadari (mendeteksi) kehadiran isu tersebut. Seseorang akan
merespons suatu masalah yang muncul dari situasi eksternal, baik lingkungan
maupun sistem sosialnya yang muncul dari
dalam dirinya, seperti kurang pemahaman akan situasi yang terjadi. Situasi dalam
kasus ini mengenai penamaan gedung yang menjadi permasalahan bagi mahasiswa,
staf, maupun dosen yang muncul sebagai reaksi atas ketidakpahaman terhadap
kondisi tertentu. Akan tetapi, menurut saya dalam kondisi ini mahasiswa, satf,
maupun dosen masih bersikap pasif dalam mencari informasi terkait penamaan
gedung baru tersebut.
KASUS
5 : PT Hidup Sejahtera (HS) adalah perusahaan dengan
produk asuransi jiwa. Perusahaan ini adalah perusahaan besar. Tetapi, ternyata
kalah dengan perusahaan Besar Sekali (BS) yang berada di sebelahnya. BS
bergerak di bidang jasa catering. BS sering mendapat liputan media.
Jelaskan:
Apa
yg hrs dilakukan HS?
Dalam kasus ini kedua perusahaan memiliki segmentasi yang
berbeda, perusahaan BS sering mendapat liputan media sedangkan perusahaan PT
Hidup Sejahtera, sebaliknya. Strategi yang dapat dilakukan oleh perusahaan HS
adalah terkait dengan publisitas/ model
press agentry. Kriyantono (2014, h.91) menjelaskan bahwa model ini
merupakan bentuk tertua dari public
relations yang muncul pada tahun 1850. Hingga pada tahun 1900, model ini
masih menjadi model utama yang mana public
relations banyak melakukan propaganda atau kampanye untuk tujuan pubisitas
media yang menguntungkan pihaknya. Dalam konsep ini, penggunaan model press agentry bertujuan untuk meraih
perhatian dan liputan media. Strategi ini dapat diterapkan oleh public relations perusahaan HS dengan
tujuan mendapatkan publisitas dan perhatian media. Berkaitan dengan hal itu, manajamen impresi berkaitan
dengan strategi individu atau organisasi untuk mempresentasikan dirinya selama
interaksi dengan pihak lain (Kriyantono, 2014, h.222). Strategi ini diterapkan
agar pihak tertentu dapat mengenal sebuah organisasi atau perusahaan
menggunakan atribut atau simbol tertentu dalam upaya presentasi diri. Konsep presentasi
diri sendiri diterapkan untuk menjelaskan bagaimana individu dapat membentuk
maupun membangun impresi orang lain. Ini diperlukan oleh perusahaan HS agar
mendapatkan perhatian oleh khalayak. Jones (dikutip dari Kriyantono, 2014,
h.222) menyatakan bahwa ada lima tipologi presentasi diri yakni : Strategi integration (menyenangkan orang
lain), strategi self promotion (promosi
diri), startegi exemplification (sebagai
contoh), strategi supplication (self
handicapping) dan strategi intimdation. Kasus yang dialami HS dapat menerapkan salah
satu tipologi presentasi diri yakni strategi self promotion (promosi diri) , yang digunakan agar diimpresikan
sebagai organisasi yang kompeten, khususnya pada bidang jasa sesuai dengan
segmen perusahaan HS dengan strategi yang dilaksanakan dengan cara menampilkan
prestasi yang dicapai, hal-hal baik terhadap publik, ataupun dapat menampilkan
berbagai penghargaan yang diperoleh atas prestasi perusahaan. Adapun startegi
tersebut selain akan mempromosikan diri juga diharapkan akan memperoleh
perhatian publik khususnya media. Tidak kalah penting dan menarik bahwa Teori Agenda building- Information Subsidies
menjadi teori yang digunakan sebagai dasar mendapat pemberitaan media. Seperti yang
dijelaskan oleh Kriyantono (2014, h.325) bahwa teori ini menjadi dasar bagi public relations untuk membuat program
yang dapat memengaruhi agenda media. Menjadi agenda media berarti program public relations mendapat liputan media
berkali-kali karena dianggap sesuatu yang penting. Hal ini sangat menguntungkan
bagi perusahaan sebagai strategi pencitraan organisasi. Kriyantono (2014,
h.328-329) menambahkan bahwa seorang public
relations harus memanfaatkan media massa sebagai mitra dalam menyebarkan
informasi tentang organisasi atau perusahaan. Media massa memiliki peranan
penting dalam praktik public relations,
karena memiliki pengaruh dalam membentuk opini publik dan kemampuannya dalam
mentransmisikan serta menggandakan pesan secara cepat ditambah bagaiamana media itu dapat menjangkau khalayak yang
besar. Upaya inilah yang dinamakan publisitas, yakni pesan yang direncanakan,
dieksekusi, dan didistribusikan melalui media massa untuk memenuhi kepentingan
publik tanpa membayar pada media. Asumsinya, bahwa semakin sering informasi
tetang organisasi yang dimuat oleh media,
maka semakin besar pula perhatian publik yang didapatkan. Tentunya ini akan
berpengaruh pada organisasi atau perusahaan sesuai denga kasus yang dialami
perusahaan HS diatas.
Kriyantono, R. (2014). Teori-Teori
Public Relations Perspektif Barat & Lokal : Aplikasi Penelitian dan Praktik.
Jakarta: Kencana.