Rabu, 19 September 2018

ANALISIS STUDI KASUS BANK CENTURY DALAM PERSPEKTIF PUBLIC RELATIONS


Kronologis Kasus Bank Century
Description: Kronologi Kasus Bank Century Seret Nama Boediono
Bank Century merupakan hasil merger Bank CIC milik Robert Tantular dengan Bank Pikko dan Bank Danpac pada 2004. Bank Century dilaporkan mengalami masalah likuiditas yang serius dan manajemen Bank Century mengajukan permintaan pinjaman jangka pendek senilai Rp 1 triliun dari Bank Indonesia sekitar akhir Oktober 2008 atau awal November 2008.
Kasus korupsi atas pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai "bank gagal berdampak sistemik" seolah tenggelam selama tiga tahun terakhir ini atau setelah perkara mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya berkekuatan hukum tetap pada 2015 lalu.
Semenjak itu, tak terlihat geliat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti kasus tersebut. Padahal terdapat sekitar 10 nama yang disebut turut terlibat dalam kasus yang merugikan keuangan negara hingga Rp 8 triliun itu. Pertanyaan mengenai perkembangan kasus ini yang kerap dilontarkan awak media dalam sejumlah kesempatan hanya dijawab normatif oleh pimpinan KPK.
Namun, kasus ini memasuki babak baru setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Masyarakat Antikorupsi (Maki) terhadap KPK terkait lambannya penanganan kasus Century. Dalam putusannya, Hakim tunggal PN Jaksel, Effendi Mukhtar memerintahkan termohon, yakni KPK untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan. Kemudian melanjutkannya dengan pendakwaan dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat atau melimpahkannya kepada kepolisian atau kejaksaan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan dalam proses persidangan di PN Tipikor Jakpus‎. ‎
.           Kasus Bank Century ini dimulai pada sekitar bulan Oktober tahun 2008 lalu. Diawali dengan jatuh temponya sekitar US$ 56 juta surat-surat berharga milik Bank Century dan akhirnya gagal bayar. Bank Century pun menderita kesulitan likuiditas. Akhir Oktober 2008 itu, CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal Bank Century minus 3,53%.
 Kesulitan likuiditas tersebut berlanjut pada gagalnya kliring atau tidak dapat membayar dana permintaan nasabah oleh Bank Century yang diakibatkan oleh kegagalan menyediakan dana (prefund) sehingga terjadi rush (penarikan uang secara bersamaan dalam jumlah yang besar). Pada 20 November 2008, BI mengirimkan surat kepada Menkeu, yang berisikan pemberitahuan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan memerlukan penanganan lebih lanjut. BI kemudian mengusulkan dilakukannya langkah penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Malam harinya, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang terdiri dari BI, Menkeu, dan LPS mengadakan pertemuan membahas permasalahan Bank Century.
Dalam rapat tersebut, BI mengumumkan CAR Bank Century mengalami minus hingga 3,52 persen. Maka diputuskanlah untuk menaikkan CAR menjadi 8 persen dengan menambah kebutuhan modal sebesar Rp. 632 miliar. Dari rapat itu juga akhirnya Bank Century diserahkan kepada LPS. Setelahnya, keluar keputusan untuk mencekal Robert Tantular, seorang pemegang saham Bank Century serta ketujuh pengurus lainnya, yaitu Sualiaman AB (Komisaris Utama), Poerwanto Kamajadi (Komisaris), Rusli Prakarta (Komisaris), Hermanus Hasan Muslim (Direktur Utama), Lila K Gondokusumo (Direktur Pemasaran), dan Edward M Situmorang (Direktur Kepatuhan).
Pada 23 November 2008, LPS memutuskan untuk memberikan dana talangan sejumlah Rp. 2,7 Triliun untuk meningkatkan CAR menjadi 10%. LPS kemudian juga memberikan dana sebesar Rp. 2,2 T untuk memenuhi tingkat kesehatan Bank Century pada awal Desember. Ribuan investor Antaboga mulai mengajukan tuntutan terhadap penggelapan dana investasi senilai Rp. 1,38 T yang ditengarai mengalir kepada Robert Tantular. Di akhir tahun 2008, Bank Century dilaporkan mengalami kerugian sebesar Rp. 7,8 T selama tahun 2008.
Februari 2009, LPS kembali memberikan bantuan dana sebesar Rp. 1,5 T. Akhirnya pada Mei 2009 Bank Century keluar dari pengawasan khusus BI. Pada bulan Juli 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mulai menggugat biaya penyelamatan Bank Century yang dianggap terlalu besar. Namun pada bulan yang sama, LPS masih memberikan suntikan dana Rp. 630 Miliar.
Agustus 2009, DPR memanggil Menkeu, BI, dan LPS untuk meminta penjelasan perihal pembengkakan suntikan modal hingga Rp. 6,7 T, padahal pemerintah hanya meminta persetujuan sebesar Rp. 1,3 T saja. Dalam pertemuan dengan DPR itu pula, Menkeu menegaskan dampak sistemik yang akan terjadi pada perbankan Indonesia jika Bank Century ditutup.
Beberapa waktu kemudian, Bank Century telah berganti nama menjadi Bank Mutiara. Namun, kasusnya belum juga tuntas. Poin penting dalam kasus pengucuran dana talangan pada Bank Century tersebut adalah mengapa walaupun rapat paripurna DPR mengatakan tidak ada pengucuran dana, namun pemerintah saat itu tetap saja mengucurkan aliran dana segar ke Bank Century.
Hal inilah yang akhirnya menggugah sebagian anggota DPR yang menamakan dirinya sebagai tim sembilan berinisiatif untuk mempelopori pengajuan hak angket kasus Bank Century ini. Tim sembilan ini terdiri dari Maruarar Sirait dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ahmad Muzani dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Andi Rahmat dan Mukhamad Misbakhun dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Lili Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Chandra Tirta Wijaya dari Partai Amanat Nasional (PAN), Kurdi Mukhtar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Bambang Soesatyo dari Partai Golongan Karya (Golkar), serta Akbar Faisal dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Setelah melalui proses panjang, akhirnya terbentuklah panitia khusus (pansus) hak angket pengusutan kasus Bank Century yang diketuai oleh Idrus Marham dari Fraksi Partai Golkar. Di awal terbentuknya, pansus menyatakan akan membongkar tuntas kasus bailout Bank Century yang melibatkan uang negara hingga Rp. 6,7 triliun. Pansus bakal mengusut adakah unsur kesengajaan dalam proses merger Bank Century yang bermasalah akibat lemahnya pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia. Pansus juga mendapatkan dukungan dari Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. SBY menyatakan bahwa kasus Bank Century ini harus dibuka selebar-lebarnya hingga terang benderang.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diserahkan kepada DPR menjadi salah satu acuan kerja pansus. Dalam laporannya tersebut, BPK menemukan adanya rekayasa akuntansi yang dilakukan manajemen Bank Century agar laporan keuangan bank tetap menunjukkan kecukupan modal. Hal tersebut dibiarkan begitu saja oleh Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas bank, dengan alasan bahwa pemegang saham telah berkomitmen menjual SSB bermasalah serta membuat skema penyelesaian. Namun, komitmen skema penyelesaian tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh pemegang saham pengendali Bank Century.
Selama masa kerja pansus selama beberapa bulan, pansus telah memanggil semua pihak yang terkait dengan kasus Bank Century ini. Mulai dari manajemen Bank Century, KKSK, Menteri Keuangan, Gubernur BI bersama jajarannya, LPS, BPK, PPATK, pemilik saham, dan nasabah Bank Century, serta pihak-pihak lain yang terkait, termasuk Jusuf Kalla, Wakil Presiden yang saat kasus pengucuran dana itu terjadi sedang menjabat sebagai Presiden ad interim menggantikan SBY yang sedang berada di luar negeri.
Setelah masa kerja pansus berakhir, kasus ini belum juga menunjukkan ujungnya. Pansus terkesan hanya menjadi arena drama politik dan ajang meningkatkan bargaining position atau nilai tawar partai politik. Pihak-pihak terkait yang dipanggil ke DPR untuk memberikan keterangan di hadapan pansus, hanya memberikan jawaban normatif, bahkan seringkali mengutarakan ketidaktahuan mereka. Silang pendapat bermunculan. Perdebatan memanas tentang apakah keputusan pemberian PMS tersebut tepat atau tidak, mengapa sampai terjadi, dan sebagainya. Bahkan, sampai muncul dugaan dari beberapa pihak bahwa ada sebagian dana dari Rp. 6,7 T yang mengalir kepada partai dan capres-cawapres tertentu saat penyelenggaraan Pemilu 2009 lalu, dalam hal ini Partai Demokrat dan SBY-Boediono.
Di akhir perjalanan pansus, konflik-konflik lain mulai memanas. Perdebatan tidak hanya terjadi antara partai oposisi dengan partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan yang dibangun SBY dan Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu, namun juga terjadi perdebatan antar partai koalisi, seperti Partai Demokrat dengan Partai Golkar dan PKS. Tekanan dan dugaan upaya pengalihan isu pun menguat. Partai-partai yang bergabung di koalisi namun menunjukkan sikap tidak bersahabat dalam panitia angket mendapatkan sejumlah tekanan, seperti membuka kasus-kasus lain seperti tunggakan pajak, korupsi di Departemen Sosial, hingga ancaman reshuffle, atau bahkan secara terang-terangan, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Haryono Isman, meminta partai koalisi yang tidak sejalan untuk menarik kadernya dari kabinet.
Tepat pada hari Selasa, 23 Februari 2010, pansus angket Century pun menyampaikan pandangan akhir tiap fraksi. Dalam pandangan akhir tersebut, setidaknya tujuh fraksi, yaitu fraksi PDIP, fraksi Partai Gerindra, fraksi Partai Golkar, fraksi PKS, fraksi Partai Hanura, fraksi PAN, dan fraksi PPP menyatakan bahwa ada kesalahan dalam proses pemberian dana talangan untuk Bank Century tersebut. Sementara itu, dua fraksi lainnya, yakni fraksi Partai Demokrat dan fraksi PKB menyatakan bahwa pemberian dana tersebut telah sesuai dengan prosedur dan tidak ada yang bersalah. Beberapa fraksi, dalam pandangan akhirnya juga menyebutkan beberapa nama yang dianggap bersalah dan bertanggung jawab atas keluarnya dana negara sebesar Rp. 6,7 T yang kemudian tidak jelas kemana alirannya. Termasuk di antara nama-nama yang disebut adalah Boediono, Wakil Presiden RI saat ini yang dahulu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia saat kasus ini terjadi. Sri Mulyani, Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 1 dan 2 juga dianggap bertanggung jawab, dengan jabatannya sebagai ketua KSSK saat pemberian dana talangan.
Dalam rapat paripurna DPR RI pada Selasa, 2 Maret 2010, pansus membacakan pandangan akhirnya dengan mengajukan dua opsi pilihan. Pilihan pertama atau disebut opsi A, yaitu bahwa kebijakan mem-bailout Bank Century adalah dibenarkan karena alasan krisis ekonomi global pada saat itu, namun pada pelaksanaan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), PMS, dan sebagainya terdapat penyimpangan-penyimpangan yang harus ditelusuri lebih lanjut. Sedangkan pilihan kedua, atau disebut sebagai opsi C menyimpulkan bahwa baik kebijakan maupun pelaksanaan pada proses pemberian dana talangan kepada Bank Century ini semuanya adalah salah.
Rapat paripurna DPR RI ini diwarnai juga dengan aksi demonstrasi oleh berbagai elemen massa yang ingin mengawal rapat paripurna agar menghasilkan keputusan yang sesuai dengan apa yang diharapkan rakyat. Demonstrasi berlangsung serentak di depan gedung DPR serta di berbagai kota lain seperti Makassar, Yogyakarta, Bandung, dan lainnya. Proses pengambilan keputusan dilaksanakan pada 3 Maret 2010, setelah sempat pada paripurna hari pertama (02/03/10) mengalami kericuhan yang dipicu oleh kurang akomodatifnya Ketua DPR, Marzuki Alie yang memimpin jalannya rapat paripurna.
Pada hari kedua, walaupun proses berjalan alot, dipenuhi berbagai dinamika dan diwarnai hujan interupsi, akhirnya Rapat Paripurna pun memutuskan opsi C sebagai pilihan paripurna setelah melewati mekanisme voting atau pemungutan suara dari seluruh anggota DPR RI yang hadir. Dalam pemungutan suara tersebut, ada enam fraksi, yakni fraksi Partai Golkar, fraksi PDIP, fraksi PKS, fraksi Partai Gerindra, dan fraksi Partai Hanura, serta fraksi PPP yang memilih opsi C. Sedangkan tiga fraksi lainnya, yaitu fraksi PD, fraksi PAN, dan fraksi PKB memilih opsi A. Satu hal menarik yang juga cukup mendapat perhatian adalah adanya satu orang anggota fraksi PKB, Lily Wahid yang berbeda pilihan dari apa yang menjadi pilihan fraksinya. Lily, seorang diri dari fraksi PKB yang memilih opsi C. 325 berbanding 212 untuk kemenangan opsi C.
Satu hari pasca sidang paripurna, Presiden SBY berpidato di Istana menanggapi hasil paripurna DPR. Dalam pidatonya, SBY kembali menegaskan pembelaannya terhadap kebijakan bailout dan kepada Boediono dan Sri Mulyani. SBY menyebut bahwa kebijakan tersebut sudah tepat dan bahkan mengatakan bahwa Boediono dan Sri Mulyani adalah pihak yang berjasa menyelamatkan perekonomian Indonesia. Pidato SBY tersebut seakan menafikan hasil Rapat Paripurna DPR RI. Satu babak drama kasus Bank Century telah selesai. Namun, bukan berarti selesai begitu saja. Apa yang diputuskan oleh rapat paripurna DPR tentu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Desember 2012 Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan kepada tim pengawas Bank Century di DPR bahwa Budi Mulya dan mantan Deputi Gubernur BI Siti Fajriah bertanggung jawab atas kerugian negara akibat penggelontoran dana talangan Century.
Februari 2013 KPK menetapkan Budi Mulya sebagai tersangka atas dugaan bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang terkait pemberian FPJP dan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
15 November 2013 KPK menahan Budi Mulya setelah diperiksa untuk pertama kalinya sebagai tersangka. 6 Maret 2014 Budi Mulya menjalani sidang pertama. 16 Juni 2014 Jaksa menuntut Budi Mulya dengan pidana penjara 17 tahun dan denda 800 juta karena menyalahgunakan kewenangan atau tindakan melawan hukum terkait penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek sehingga merugikan keuangan Negara Rp7 triliun.
16 Juli 2014,  Budi divonis penjara 10 tahun dengan denda Rp 500 juta subsider kurungan 5 bulan karena terbukti terlibat kasus korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank Century dan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
9 April 2015, Mahkamah Agung menerima kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi atas mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya yang merupakan terdakwa kasus Century. Dengan demikian, hukuman yang diterima Budi Mulya diperberat menjadi 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan.
10 April 2018, Pengadilan Jakarta Selatan memerintahkan KPK untuk memproses kembali kasus korupsi Bank Century dan menetapkan Boediono sebagai tersangka.Perkembangan kasus Bank Century ini dari waktu ke waktu tidak terlepas dari peranan media yang selalu memberikan pantauan dan laporan perkembangan kasus tersebut. Melalui media juga, masyarakat akhirnya mengetahui seluk beluk kasus ini, yang sebelumnya tidak terungkap ke publik.

Analisis Kasus dengan Teori
Masalah yang muncul dalam kasus Bank Century adalah diawali dengan jatuh temponya sekitar US$ 56 juta surat-surat berharga milik Bank Century yang akhirnya gagal bayar. Bank Century menderita kesulitan likuiditas. Akhir Oktober 2008, CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal Bank Century minus 3,53%  hingga  gagalnya kliring atau tidak dapat membayar dana permintaan nasabah oleh Bank Century yang diakibatkan oleh kegagalan menyediakan dana (prefund) sehingga terjadi rush. Laporan LPS menyebutkan dari 8.577 nasabah penyimpanan yang menarik simpanannya, sebanyak 7.770 nasabah atau 91 persen merupakan nasabah perorangan. Sebanyak 807 atau 9 persen merupakan nasabah korporat/ BUMN. Adapun jumlah pembayaran kepada nasabah perorangan sebesar Rp 3,27 triliun atau 81 persen dari total penarikan simpanan. Sebanyak 8.249 nasabah (96 persen) merupakan nasabah penyimpanan dengan nilai di bawah Rp 2 miliar. Nilai penarikan nasabah golongan ini mencapai Rp 2,19 triliun atau 54 persen. Sedangkan 328 nasabah (4 persen) merupakan pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Penting tidaknya masalah diukur berdasarkan dampaknya bagi operasional dan reputasi organisasi secara menyeluruh. Jadi, meskipun masalah dan isu sama-sama sebagai tantangan, tidak semua masalah disebut isu tetapi setiap isu  pasti mengandung masalah (Kriyantono, 2015, h. 154). Kriyantono juga mengacu pada tulisan Jaques (2004) dan Harrison (2008) bahwa isu dapat diformulasikan “Masalah + Dampak = Isu”.
Chase (dikutip dalam Kriyantono, 2015, h.38) menjelaskan bahwa isu sebagai “an unsettled matther which is ready for decision”. Isu sebagai permasalahan yang belum terselesaikan dan karenanya perlu keputusan cepat untuk mengatasinya..Ketimbang harus menutup bank yang dikhawatirkan akan memicu rush (penarikan uang besar-besaran) dan kepanikan di masyarakat, pemerintah dan BI melalui KSSK memilih memberi bantuan dana talangan pada Bank Century agar tetap beroperasi. Dalam penyelamatan bank, otoritas tidak melihat bank sebagai entitas semata, tetapi dampaknya bagi perbankan dan perekonomian secara luas. Pemberian dana talangan kepada Bank Century harus dilakukan. Jika pemerintah membiarkan bank jatuh pada Oktober-November 2008, Indonesia diyakini akan mengalami krisis seperti yang terjadi tahun 1997/1998, dan biayanya sangat luar biasa, termasuk biaya sosial dan politik. Isu inilah yang muncul di publik dan membuat pemerintah harus memikirkan keputusan yang tepat dalam menangani hal ini. Isu yang beredar mengatakan bahwa Bank Century sebagai bank gagal dan akan tutup menjadi kekhawatiran masyarakat atau nasabah bank .
Isu Bank Century ini pada awalnya dapat dikatakan termasuk kedalam kategori isu internal organisasi, karena hanya diketahui oleh pihak manajemen dan anggota organisasi lainnya. Pada akhirnya, isu ini diberitakan oleh media dan mengungkap beberapa fakta-fakta yang berkembang sehingga muncul isu eksternal yang membuat ancaman terhadap organisasi dan harus mempertahankan diri agar tidak mengalami kerugian reputasi. Perkembangan kasus ini cukup menyita perhatian publik dan masyarakat dan dapat dianalisis bagaimana perkembangan isu ini dalam tahapan perkembangan isu (life cycle). Public relations diharapkan dapat memahami tahapan perkembangan ini karena tipisnya perbedaan antara isu dan krisis, karena dengan ini dapat menentukan jenis respons yang tepat dalam organisasi (Kriyantono, 2015, h.164).
Apabila diidentifikasi dalam Tahap Potential Stage kasus Bank Century ini isu dapat dijelaskan ketika Bank Century telah mengalami masalah likuiditas, pihak Bank Century telah melakukan tindakan-tindakan tertentu berkaitan dengan isu ini. Dapat dibuktikan ketika Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang terdiri dari BI, Menkeu, dan LPS mengadakan pertemuan membahas permasalahan Bank Century pada akhir Oktober 2008, CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal Bank Century minus 3,53%.
Selanjutnya, tahap Imminent Stage menurut Kriyantono (2015, h.166) adalah ketiku isu bekembang karena isu-isu tersebut telah mempunyai dukungan publik, yakni kelompok-kelompok yang saling mendukung dan memberikan perhatian pada isu tersebut. Media sudah mulai memberitakan kasus Bank Century ini sehingga isu semakin berkembang pada tahap ini.
Critical Stage kasus Bank Century terjadi ketika LPS mulai memberi bantuan dana talangan terhadap Bank Century hingga 6,76 triliun untuk  membantu memulihkan keuangan Dalam catatan LPS, biaya penanganan mencapai Rp 6,76 triliun, di mana Rp 5,31 triliun disetorkan secara tunai melalui rekening giro Bank Century di Bank Indonesia. Kemudian Rp 1,54 triliun berbentuk penyerahan Surat Utang Negara (SUN). Dari total dana tersebut sebagian besar, yakni Rp 4,02 triliun atau 59 persen digunakan untuk membayar kewajiban bank kepada 8.577 nasabah penyimpanan. Kemudian Rp 2,25 triliun atau 33 persen masih berupa aset Bank Century dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FaSBI), surat utang negara (SUN), dan Giro Wajib Minimum (GWM). Adapun sisanya Rp 490 miliar atau 8 persen dipakai untuk membayar pinjaman antar-bank, Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), biaya real-time gross settlement (RTGS) dan denda GWM, serta pembelian valuta asing. Dalam Critical Stage ini juga sudah terbagi dalam dua kelompok, yakni setuju dan menentang atas keputusan oleh Bank Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan ketika Pansus angket Century yang dibentuk untuk mempelopori pengajuan hak angket menyampaikan pandangan akhir tiap fraksi. Setidaknya tujuh fraksi, yaitu fraksi PDIP, fraksi Partai Gerindra, fraksi Partai Golkar, fraksi PKS, fraksi Partai Hanura, fraksi PAN, dan fraksi PPP menyatakan bahwa ada kesalahan dalam proses pemberian dana talangan untuk Bank Century Sementara itu, dua fraksi lainnya, yakni fraksi Partai Demokrat dan fraksi PKB menyatakan bahwa pemberian dana tersebut telah sesuai dengan prosedur dan tidak ada yang bersalah.
Dormant Stage adalah ketika isu telah melewati siklus perkembangannya dan organisasi telah melewatinya meski mengeluarkan energi besar, waktu lama dan biaya besar. Publik sudah puas karena pertanyaan seputar isu “dapat terjawab” dan pemberitaan media mulai menurun. Hal ini ditandai ketika telah diputuskan vonis bersalah pada Budi Mulya selaku mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa dengan hukuman 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan. Tetapi, muncul kembali kasus Bank Century ini pada September 2018 setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Masyarakat Antikorupsi (Maki) terhadap KPK terkait lambannya penanganan kasus Century. Dalam putusannya, Hakim tunggal PN Jaksel, Effendi Mukhtar memerintahkan termohon, yakni KPK untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan. Sesuai dengan pendapat Kriyantono (2015, h.169) bahwa dalam tahap ini, memang memungkinkan isu muncul kembali sampai seseorang memunculkan kembali dengan pemikiraan dan persoalan baru atau muncul isu baru yang mempunyai keterkaitan dengan isu sebenarnya.
Chase (dalam Kriyantono, 2015, h. 174) mendefiniskan manajemen isu sebagai sebuah alata yang dapat digunakan perusahaan untuk mengidentifikasi, menganalisis dan mengelola isu-isu yang berkembang dan merespons isu-isu sebelum menjadi pengetahuan publik. Dalam kasus ini, manjemen isu yang dilakukan adalah ketika Bank Century meminta pendanaan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi masalahnya, dan BI mengirimkan surat kepada Menkeu, yang berisikan pemberitahuan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan memerlukan penanganan lebih lanjut. BI kemudian mengusulkan dilakukannya langkah penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan munculnya akibat-akibat  yang negatif/ merusak sebagai hasil suatu aktivitas organisasi (Walaski, dalam Kriyantono, 2015, h.176). Harrison (2008) mengatakan bahwa Manajemen risiko adalah proses untuk mengurangi risiko yang lebih besar yang disebabkan tidak berfungsinya aktivitas organisasi. Risiko dalam kasus Century ini adalah ditutupnya Bank Century dan dinyatakan sebagai bank gagal. Sedangkan, manajemen risiko yang dilakukan adalah ketika tim Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang terdiri dari BI, Menkeu, dan LPS berperan dalam putusan penyelamatan Bank Century dengan memberikan dana talangan yang berupaya membantu mengembalikan uang nasabah dan berusaha agar bank tidak tutup yang nantinya akan menimbulkan kekhawatiran nasabah Bank Century dan yang lebih parah lagi terjadinya rush (penarikan uang secara bersamaan dalam jumlah yang besar)
Devlin (dikutip di Kriyantono, 2015, h.196) mendefiniskan krisis sebagai sebuah situasi yang tidak stabil dengan berbagai kemungkinan menghasilkan dampak yang tidak diinginkan. Kriyantono (2015,h.195) mengatakan bahwa Secara umum, ada tiga kemungkinan dampak krisis bagi organisasi, yaitu : (a) organisasi tutup, diakuisisi oleh organisasi lain atau dinyatakan bangkrut; (b) organisasi masih eksis tetapi mengalami kerugian finansial, kehilangan kepercayaan publik, dan kehilangan market share, sehingga membutuhkan waktu untuk kembali; dan (c) organisasi dapat menjaga reputasi dan bahkan dapat lebih baik dari saat sebelum ditimpa krisis. Dalam kasus Bank Century, dampak krisis yang terjadi adalah organisasi tutup, diakuisisi oleh organisasi lain atau dinyatakan bangkrut. LPS pada 2014 berhasil menjual Bank Mutiara (eks Bank Century) kepada J Trust, asal Jepang dengan harga penjualan atas 99 persen saham Bank Mutiara sebesar Rp 4,411 triliun, dan menjadi masalah karena  harganya jauh di bawah biaya bailout.
Kasus Bank Century tidak berhenti sampai disini, kasus ini berlanjut pada 2018 setelah 3 tahun sudah tidak lagi muncul pada pemberitaan publik. Ada yang menarik dalam perkembangan kasus Century ini, muncul juga rumor bahwa Presiden SBY terlibat kasus dalam Bank Century ini. Hal ini dibuktikan dalam Artikel Asia Sentinel yang dimuat pada Selasa, 11 September 2018 dengan berjudul, "Indonesia's SBY Goverment: Vast Criminal Conspiracy". Pemberitaan itu menyebut SBY telah menerima aliran dana gelap sebesar Rp 177 triliun dari Bank Century. selanjutnya sempat dihapus oleh Asia Sentinel setelah dilakukan protes oleh Demokrat dan dinaikkan kembali berita lainnya pada Sabtu, 15 September dengan judul jika berita terkait SBY dan Century telah menjadi pemberitaan yang viral.
            Kasus Bank Century ini sudah dapat dikatakan sebagai krisis karena sesuai dengan salah satu karakteristik krisis yaitu menimbulakan Dampak Positif atau Negatif bagi Operasional Organisasi. Kriyantono (2015, h.203) menejlaskan bahwa krisis dapat diidentifikasi ketika dampaknya dapat bersifat merusak atau negatif, seperti penurunan profit, boikot produk, bangkrut, dituntut secara hukum, banyak manajer senior dan karyawan yang keluar, penurunan kepercayaan publik, pemerintah dan publik tiada henti-hentinya memeberikan perhatian besar atau bahkan menginvestigasi organisasi, mengancam reputasi dan nama organisasi, perubahan yang bersifat tidak produktif (misalnya, kehilangan modal, pengunduran diri karyawan dan pemutusan hubungan kerja massal, dan hilangnya waktu untuk mengatasi konflik).
Disisi lain, sumber krisis yang terjadi pada kasus ini adalah krisis manajemen dan perilaku karyawan karena gagalnya melaksanakan tanggung jawab seperti korupsi yang telah dilakukan, take over, masalah keuangan (Kriyantono, 2015, h. 207). Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan kepada tim pengawas Bank Century di DPR bahwa Budi Mulya dan mantan Deputi Gubernur BI Siti Fajriah bertanggung jawab atas kerugian negara akibat penggelontoran dana talangan Century. Ini membuktikan bahwa sumber krisis terjadi pada kasus ini adalah masalah korupsi yang terjadi dalam proses penyelesaian permasalahan Bank Century.



DAFTAR PUSTAKA
Kriyantono, R. (2015). Public Relations, Issue & Crisis Management: Pendekatan Critical Public Relations, Etnografi Kritis & Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Adiyudha, R. 2018. Demokrat Laporkan Asia Sentinel ke Dewan Pers. Diakses pada 19 September 2018 dari :

Andriyanto, H. 2018. Babak Baru Kasus Century. Diakses pada 19 September 2018 dari:

Anonim. 2014. Kilas Balik Kasus Bank Century. Diakses pada 19 September 2018 dari :
Anonim. 2014. Bank Century: Budi Mulya divonis 10 tahun. Diakses pada 19 September 2018 dari:

Anonim. 2014. Boediono Sebut Dana Talangan Cegah Krisis. Diakses pada 19 September 2018 dari :

Dwiyana, I. 2014. Krisis Bank Century Dipicu Masalah Likuiditas. Diakses pada tanggal 19 September 2018 dari:

Fajrian, 2018. Kronologi Kasus Bank Century Seret Nama Boediono. Diakses pada 19 September 2018 dari :

Movanita, A. 2015. Kasasi KPK Dikabulkan, Hukuman Budi Mulya Diperberat Jadi 15 Tahun Penjara. Diakses pada 19 September 2018 dari :

Ramadhan, B. 2014. Ini Kronologis Kasus Bank Century. Diakses pada 19 September 2018 dari :
https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/06/n20q0m-ini-kronologis-kasus-bank-century

Jumat, 06 April 2018

KOTA WISATA BATU : SEBUAH KAWASAN DISNEYIZATION?


Kota Wisata Batu, sebuah julukan untuk kota kecil di Jawa Timur yang memiliki panorama indah dengan udara yang sejuk. Hal ini didukung oleh kondisi geografis yang terletak di sekitar pegunungan yang cukup subur antara lain adalah Gunung Anjasmoro, Gunung Arjuno, Gunung Banyak, Gunung Kawi, Gunung Panderman, dan Gunung Welirang. Kota Wisata Batu sudah mulai dikenal sejak zaman Belanda. Udara yang sejuk dan alam yang indah menjadi daya tarik bagi para wisatawan yang berkunjung ke kota kecil ini. Bahkan, sebuah julukan De Klein Switzerland disematkan pada kota yang dianggap sebagai Swiss kecil di Jawa. Peninggalan arsitektur khas Belanda dalam bentuk hunian atau tempat persinggahan banyak di jumpai di Kota Batu karena pada zaman dahulu menjadi lokasi strategis untuk membangun sebuah rumah persinggahan. Salah satu rumah persinggahan yang bersejarah yakni sebuah hunian di kawasan Taman Rekreasi Selecta yang menjadi tempat singgah Ir. Soekarno dan Moh. Hatta.
Sebuah perkembangan yang cukup pesat terjadi pada kota yang mulai berdiri secara otonom pada tahun 2001 ini. Berbagai tempat wisata mulai di kembangkan mulai dari wisata alam, wisata budaya, wisata religi, wisata kuliner dan wisata buatan yang mengalami perkembangan cukup pesat. Hingga pada tanggal 20 Mei 2013 diluncurkan logo baru yakni "Shining Batu" yang mana menjadi sebuah ikon atau julukan khusus untuk kota pariwisata ini. Banyaknya jumlah destinasi wisata di kota ini sangatlah tepat untuk dijuluki sebagai  salah satu kota “wisata” di Indonesia. Wisata yang cukup populer di Kota Wisata Batu adalah Taman Rekreasi Selecta, Coban Talun, Coban Rais, Pemandian Air Panas Cangar, Paralayang Gunung Banyak, Arboretum, Jawa Timur Park 1, Museum Satwa, Batu Secret Zoo, Museum Angkut, Batu Night Spectacular, Alun-Alun Kota Wisata Batu, Eco Green Park, Predator Fun Park, Jawa Timur Park 3, dan Kusuma Agro Wisata. Destinasi wisata menarik lainnya seperti di lansir oleh Malang Today adalah adanya desa atau kampung wisata seperti Kampung Wisata Kungkuk, Kampung Ekologi Temas, Desa Wisata Tulungrejo, Kampung Goenoeng, dan Desa Oro-Oro Ombo.

Kota “wisata” menjadi acuan utama Kota Batu untuk terus mengembangkan pariwisata yang ada. Pembangunan semakin gencar dilakukan, tetapi yang kita temui sebuah proyek pembangungan wisata buatan “artifisial” lah yang semakin merajalela. Wisata khas Jawa Timur Park Group semakin diminati dan mendominasi wisata yang ada di kota ini. Mengutip tulisan Haris El Mahdi dalam Malang Corruption Watch, seorang sosiolog warga Kota Batu yang mengatakan bahwa Kota Batu bukan lagi Swiss kecil di Pulau Jawa, tetapi berubah menjadi Singapura kecil di Pulau Jawa. Wisata alam berbasis pertanian yang menjadi ciri khas Kota Batu diubah menjadi wisata artifisial berbasis Disneyization, sebuah model wisata yang tak pernah dikenal oleh orang Batu sebelumnya. Disneyization merujuk pada gagasan Bryman tentang proyek kapitalisme yang mengintegrasikan wisata kuliner dengan wisata buatan (artificial) seperti pada taman hiburan Disneyland. Walt Disney merupakan ikon dari industri hiburan paling terkemuka di AS, yang kemudian bertransformasi sedemikian rupa menjadi jejaring bisnis wisata bernama Disneyland Park di banyak Negara (Mahdi,2014). Jawa Timur Park Group menjadi sebuah proyek Disneyization yang dapat kita jumpai di Kota Wisata Batu. Beragam proyek wisata nya antara lain Jawa Timur Park 1, Museum Satwa, Batu Secret Zoo, Museum Angkut, Batu Night Spectacular, Eco Green Park, Predator Fun Park, dan Jawa Timur Park 3 yang menjadi salah satu proyek terbaru di tahun ini semakin menambah wisata yang ada di Kota Batu.
Menurut Bryman, A. (dikutip dari Mahdi, 2014) bahwa  ada empat hal yang menjadi ciri dari Disneyization. Pertama, theming, merujuk pada “menjual branding”, untuk konteks Kota Batu termanifestasi dalam slogan Kota Wisata Batu (KWB) atau Shinning Batu. Di samping itu juga merujuk pada spot-spot ruang yang mempunyai tema-tema khusus. Kedua, dedifferentiation of consumption merujuk pada berbagai macam tawaran konsumsi tetapi saling terintegrasi. Adanya hotel, restoran yang bertema dan memiliki kesamaan dengan tempat wisata akan meningkatkan kunjungan. Sebagai contoh, Pohon Inn Hotel yang berada dalam kompleks Jawa Timur Park 2, Pondok Jatim Park Hotel dalam kompleks Jawa Timur Park 1 dan sedang tahap pembangunan hotel di kompleks Jawa Timur Park 3. Hal ini kan memudahkan para wisatawan dalam mendapatkan tempat penginapan, kan tetapi akan merujuk pada pola terintegrasi yang sudah disiapkan oleh Jawa Timur Park Group. Ketiga, merchandising yang merujuk pada penjualan berbagai macam pernak-pernik seperti kaos, gantungan kunci, atau hal-hal yang bisa memperkuat theming. Seluruh tempat wisata yang ada, pasti menjual produk-produk khas dari tempat wisata tersebut. Keempat, emotional labour yakni membutuhkan tenaga kerja yang bisa menghidupkan suasana keceriaan dimana. Ini juga dapat kita temukan salah satunya pada karyawan di Museum Angkut yang memakai kostum cosplay sesuai dengan tema acara ataupun wahana yang ditawarkan.
Disneyization yang berkembang di Kota Batu dikhawatirkan akan menggeser eksistensi Kota Wisata Batu sebagai sentra agrowisata. Hal ini juga tidak sesuai dengan Visi Kota Batu yang menjadikan “KOTA BATU SENTRA PERTANIAN ORGANIK BERBASIS  KEPARIWASATAAN INTERNASIONAL”. Potensi setiap daerah di Kota Batu sangatlah bagus untuk dikembangkan, selain untuk meningkatkan angka kunjungan wisatawan juga kesejahteraan dan perekonomian masyarakat akan terbangun dengan maksimal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Batu Tahun 2017 bahwa Luas lahan sawah di Kota Batu tahun 2016 sebesar 2.399,74 Ha dan luas lahan bukan sawah di Kota Batu mencapai 14.396,93 Ha (BPS, 2017). Luas lahan tersebut jika dioptimalkan akan meningkatkan potensi wilayah tiap desa. Pertanian organik yang sudah mulai dilakukan di beberapa desa di Kota Batu juga cukup baik. Salah satunya di Kampung Ekologi, Kelurahan Temas, Kota Batu yang sudah disertifikasi oleh Lembaga Organik Seloliman (Lepsos). Dilansir oleh Times Indonesia pada Selasa, 27 Februari, 2018 bahwa di Dusun Krajan, Desa Giripurno yang juga merupakan salah satu dari 16 titik pengembangan pertanian organik di Kota Batu juga telah mendapat sertifikasi dari Lembaga Sertifikasi Seloliman (LeSOS) dengan hasil pertaniannya yakni sayur andewi. Ini menjadi sebuah angin segar bagi pertanian organik di Kota Batu dan kemajuan di bidang pertanian dalam pencapaian visi Kota Batu sebagai SENTRA PERTANIAN ORGANIK BERBASIS  KEPARIWASATAAN INTERNASIONAL.
Konsep Disneyization yang sudah berkembang saat ini dalam industri wisata hiburan di Kota Batu seharusnya juga bisa di kembangkan pada desa-desa wisata yang ada di Kota Batu. Tidak menutup kemungkinan pemerintah mengadopsi konsep tersebut dalam mengembangkan desa-desa wisata, khususnya pertanian organik yang menjadi komoditas dan fokus utama Kota Batu. Beberapa elemen dalam konsep Disneyization yang dapat diterapkan adalah theming dan merchandising dimana setiap desa atau kampung wisata memiliki keunikan, ciri khas tertentu yang dapat di tawarkan kepada wisatawan baik dari segi seni, budaya, makanan tradisional, kerajinan dan keterampilan tertentu. Merchandising yang merujuk pada penjualan berbagai macam pernak-pernik seperti kaos, gantungan kunci, atau hal-hal yang bisa memperkuat brand sebuah kampung wisata juga dapat diberdayakan dalam meningkatkan minat kunjungan wisatawan.

REFERENSI :
Adifirsta, M. (2017, Mei 16). Krisis Ekologi Kota Batu dan Dampak Sosialnya. Malang Corruption Watch. Diakses dari https://mcw-malang.org/2017/05/16/krisis-ekologi-kota-batu-dan-dampak-sosialnya/
Badan Pusat Statistik Kota Batu. (2017). Kota Batu dalam Angka 2017. Batu: BPS Kota Batu.
Bryman, A. (1999). The Disneyization Of Society. The Sociological Review. 47(1), 25-27
 
Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Batu. (2017). Geografis Kota Batu. Diakses pada 25 Maret 2018, dari http://website.batukota.go.id/statis-14-geografis-kota-batu
Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Batu. (2017). Visi dan Misi. Diakses pada 25 Maret 2018, dari http://website.batukota.go.id/statis-2-visi-dan-misi
Mahdi, H.E. (2014, Oktober 16). Proyek Disneyization Kota Batu. Malang Corruption Watch . Diakses dari https://mcw-malang.org/2014/10/16/proyek-disneyization-kota-batu/
Prayoga, R.M. (2018, Januari 13). Sederet Desa Kampung Wisata di Kota Batu yang Wajib Dikunjungi. Diakses dari  https://malangtoday.net/travel/wisata/sederet-desa-kampung-wisata-di-kota-batu-yang-wajib-dikunjungi/
Sahid, F.A. (2018, Februari 27). Wali Kota Batu Panen Sayur Organik Bersertifikasi. Times Indonesia. Diakses dari https://m.timesindonesia.co.id/read/169208/20180227/165702/wali-kota-batu-panen-sayur-organik-bersertifikasi/



Senin, 26 Maret 2018

DISKUSI KASUS : Membumikan teori asah analisis


KASUS 1 : Badrun, mhs kom UB, sedang kerja magang di Hotel Savanah (HS) Malang. Badrun mendapat tugas dari Manajer PR HS untuk melakukan monitoring terhadap pemberitaan surat kabar. Badrun diminta melakukan: (a) klipping opini pembaca yang dimuat di surat kabar tentang HS; (b) analisis berita-berita surat kabar di rubrik seputar Malang, untuk mengetahui tema-tema beritanya. Mendapat tugas itu, Badrun bertanya-tanya dalam hati: “Untuk apa saya melakukan klipping? Untuk apa tema-tema pemberitaan selama 3 bulan harus saya pantau?”
 “Bantulah si Badrun untuk menjawab pertanyaannya. Gunakan landasan teoritis untuk argument anda”

Dalam kasus tersebut apa yang dilakukan manajer PR Hotel Savanah Malang terhadap Badrun, mahasiswa komunikasi Universitas Brawijaya yang sedang bekerja magang adalah sesuai dengan fungsi public relations sebagai penguhubung antara organisasi dan lingkungannya, yang dikenal dengan istilah “boundary spanning”. Kriyantono (2014, h.86) menjelaskan bahwa melalui fungsi tersebut, seorang public relations akan berinteraksi dengan lingkungannya untuk monitoring, seleksi, dan menghimpun informasi. Informasi tersebut yang kemudian disampaikan kepada kelompok dominan dalam organisasi. White & Dozier (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.87) mengatakan bahwa  yang dimaksud dengan kelompok dominan (dominant coalition) adalah kumpulan orang-orang (para manajer senior) yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan mengontrol operasional organisasi”. Jika Badrun bertanya alasan melakukan klipping dan memantau pemberitaan selama 3 bulan, jawabannya adalah sebagai upaya pencegahan dini untuk meminimalkan atau mengurangi masalah yang akan ditimbulkan pada perusahaan atau organisasi. Dengan cara klipping opini pembaca, analisis tema berita-berita pada surat kabar maka seorang public relation dapat mengetahui isu yang berpotensi memengaruhi aktivitas organisasi, dan memberi rekomendasi terhadap kelompok dominan tentang strategi mengolah isu agar tidak berkembang menjadi sebuah krisis. Hal ini dilakukan, jika tidak dipantau atau monitoring dikhawatirkan ada isu-isu tertentu mengenai perusahaan atau organisasi yang akan berdampak pada perusahaan tersebut, dalam kasus ini yakni Hotel Savanah Malang. Alasan lain yang dapat digunakan dalam memecahkan pertanyaan Badrun dapat dikaitkan dengan teori spiral of silence yang mana sebuah media massa memiki potensi besar dalam membentuk opini publik. Sesuai dengan teori tersebut, jika seorang public relations tidak secara cermat mengamati lingkungan sekitar, maka akan opini publik yang terbentuk akibat adanya media massa berimplikasi langsung terhadap citra sebuah perusahaan atau organisasi. Jika opini publik yang terbentuk positif, hal ini akan berdampak positif pula pada perusahaan. Akan tetapi, jika sebaliknya opini yang terbentuk negatif, hal ini berpengaruh terhadap kepercayaan pada masyarakat dan citra terhadap sebuah perusahaan tersebut. Kriyantono (2014, h.207) mengatakan bahwa individu akan sulit menghindari dari terpaan media massa, mulai dari menonton televisi, membaca koran, mendengarkan radio, hingga terpaan media online (ubiquitous). Informasi di media juga cenderung homogen, artinya adanya kecenderungan dalam menampilkan informasi yang sama berulang kali. Sifat media massa yang demikian lah membuat public relations harus melakukan apa yang dilakukan Badrun dengan memantau pemberitaan yang beredar. Dikarenakan, apabila media secara terus menerus melakukan pemberitaan yang sama akan mendorong terbangunnya persepsi dan opini yang akan tersebar luas hingga menjadi opini mayoritas. Penelitan Kim, dkk (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.208) mengungkapkan bahwa jika terjadi perbedaan antara pengamatan terhadap opini yang berkembang di masyarakat dan media, indiviidu akan cenderung mengikuti opini yang ada di media. Oleh sebab itu, peran media sangatlah besar bagi sebuah perusahaan atau organisasi berhubungan dengan bagaimana public relations menghadapai isu, pemberitaan ataupun informasi mengenai perusahaan yang beredar. Badrun yang mendapat tugas untuk melakukan klipping dan analisis berita yang beredar tidak lain bertujuan untuk mengetahui opini masyarakat yang berkembang dan dapat digunakan sebagai acuan dalam strategi public relations untuk menanggapi isu atau informasi yang beredar agar tidak sampai menjadi sebuah krisis permasalahan perusahaan atau menjadikan sebuah referensi dalam menyusun dan merencanakan startegi public relation yang tepat bagi perusahaan atau organisasi.



KASUS 2 : Seorang wartawan melakukan wawancara dengan humas UB tentang terjadinya suatu kebijakan. UB membuat kebijakan baru, yaitu melarang mahasiswa merokok di areal kampus UB. Saat ditanya wartawan, humas UB menjawab: “Saya belum bisa memberikan jawaban sekarang.. Sy mesti meminta izin dulu ke pimpinan”.
 “efektifkah jawaban humas itu dalam konteks publisitas media? Mengapa?”
“Berfungsikah humas itu? Berikan penjelasan teoritis”


Grunig & Hunt (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.91) menjelaskan bahwa ada empat model yang dapat diterapkan praktisi public relations dalam menjalin hubungan dengan publik. Model ini dapat juga disebut sebagai tipe proses kegiatan public relations. Keempat model tersebut antara lain adalah Press Agentry, Public Information, Two-Way Asymetric, dan Two-Way Symmetric. Salah satu dari empat model tersebut adalah Press Agentry atau publisitas. Apabila public relations menerapkan model tersebut, maka terjadi proses diseminasi informasi bergerak satu arah (one way communication) dari organisasi ke publik. Jawaban dari humas UB terhadap wartawan tersebut dalam konteks publisitas menurut saya kurang efektif, dikarenakan tujuan publisitas adalah upaya meraih perhatian dan liputan media. Jika seorang narasumber khsuusnya dalam hal ini seorang humas menjawab dengan pernyataan seperti kasus diatas, bahwa tidak dapat memberikan jawaban dan akan meminta izin kepada pimpinan akan dinilai media kurang memberi informasi yang sesuai dan menimbulkan ketidakpastian atau keraguan di mata publik. Akan tetapi apa yang di lakukan humas tersebut dalam menanggapi pertanyaan wartawan dapat dikaitkan dengan teori uncertainty reduction. Berger & Calabrese (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.140) menjelaskan teori ini tentang bagaimana menggunakan komunikasi untuk mengurangi keraguan, memahami orang lain dan diri anda, dan membuat prediksi tentang perilaku orang lain ketika berinteraksi dengan orang lain saat pertama bertemu. Disini humas memiliki motivasi untuk mengurangi ketidakpastian saat berkomunikasi dengana wartawan. Ketidakpastian sendiri memiliki makna berupa ketidakmampuan individu untuk memprediksi atau menjelaskan perilakunya dan perilaku orang lain. Dalam kasus tersebut, humas UB tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan yang dberikan seorang wawancara dan mengatakan untuk meminta izin pada pimpinan. Sangat jelas terlihat bahwa sikap humas menunjukkan sebuah keraguan dalam mengemukakan pendapatnya. Fungsi komunikasi berjalan dengan baik pada kasus ini, sesuai bahwa komunikasi menjadi alat untuk mengurangi ketidakpastian, dengan dua peran komunikasi. Seperti yang dijelaskan Kriyantono (2014, h.141) peran komunikasi digunakan untuk mendapatkan informasi tentang lawan bicara, karena cenderung menjadi tidak pasti tentang apa yang dirasakan atau perasaan orang tersebut, motif orang itu, rencananya, ataupun tujuannya. Humas UB berusaha memilih persepsi yang tepat dalammenanggapi hal tersebut yang dilakukan dengan mencari informasi lain dan ketidakpastian itu juga dirasakan oleh wartawan yang mewawancarainya. Sependapat dengan Littlejohn & Foss (dikutip dari Kriyantono, h.142) yang mengatakan bahwa pada situasi yang ketidakpastiannya tinggi, semakin tergantung pada data yang tersedia dalam situasi itu. Seseorang akan lebih sadar (concious) dan berhati-hati (mindful) terhadap keputusan perlakuan. Ketidakpastian yang terjadi dalam situasi tersebut, dapat dikatakan tergolong pada ketidakpastian kognisi (cognitive uncertainty) sesuai dengan pendapat jenis ketidakpastian oleh Berger dan Bradag (dikutip dari Kriyantono, 2014 h.144-145) yang mana dalam kasus ini,  humas UB merasa tidak yakin dan menemui kesulitan untuk menentukan dalam menyikapi respon itu. Fungsi humas UB masih belum berjalan dengan baik, karena seorang public relations bertujuan dalam menciptakan citra positif dan mendukung reptasi positif organisasi di mata publik yang harus dalam kondisi kecukupan informasi (well-informed). Health (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.148) menyarankan praktisi public relations untuk meminimalkan ketidakpastian dengan menerapkan strategis komuniaksi antara lain apabila tidak dapat menyediakan informasi dengan baik, public relations harus menjelaskan alasannya (penting apalagi di saat krisis).



KASUS 3 : Marmud adalah karyawan PT Makmur Sekali (MS). Marmud dikenal memiliki prestasi bagus, produktivitas kerja tinggib dan kreatif. Dia sering berkontribusi dalam meningkatkan penjualan produk karena kemampuannya menawarkan produk dan mencari konsumen. Tetapi, di sisi lain, Marmud dikenal juga sebagai trouble maker. Dia sering berulah, seperti sering membolos, sering bertengkar dengan rekan kerja, lebih suka bekerja sendiri daripada dengan tim. Tentu saja beberapa rekan kerja tidak menyukainya.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh manajer MS menghadapi kasus ini?


Kriyantono (2014, h.245) mengatakan bahwa proses komunikasi yang terjadi dalam suatu organisasi sangat ditentukan oleh pemahaman para manajer termasuk praktisi public relations pada teori motivasi. Komunikasi merupakan proses dimana seorang manajer dapat menggunakan pengaruhnya terhadap karyawan. Dalam kasus diatas, Marmud merupakan karyawan yang memiliki prestasi bagus, produktivitas kerja tinggi, kreratif, sering berkontribusi dalam meningkatkan penjualan produk. Akan tetapi, ada sisi negatif dari Marmud yang sering membolos, suka bekerja sendiri, dan membuat kerusuhan di lingkungan kerja. Dalam hal ini, sikap manajer yang harus dilakukan dapat berlandaskan atau mengacu pada teori X dan Y dalam teori motivasi dan gaya manajerial. Kriyantono (2014, h.246) menjelaskan bahwa setiap organisasi mempunyai tipe kepemimpinan (manajerial) yang berbeda-beda.  Quaal & Brown (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.246) mendeskripsikan mengenai Teori X sebagai upaya untuk mengelola orang dengan memotivasi mereka sejak awal dengan kekuatan fisik dan kekuasaan. Teori X ini berasumsi setiap individu mempunyai pembawaan sifat tidak suka bekerja (tidak mempunyai motivasi untuk bekerja), karena itu pemberian motivasi dari pihak luar (dalam hal ini manajer) sangat diperlukan. Sikap Marmud yang sering membolos sesuai dengan apa Teori X katakan, hal ini perlu pemberian motivasi oleh manajer bagaimana untuk meningkatkan kinerja karyawannya yang berpotensial atau berprestasi agar lebih giat dalam bekerja untuk kebaikan perusahaan juga. Dalam pelaksanaannya manajer dapat mengambil atau mengadopsi dari gaya manajerial yang dikemukakan oleh Likert atau yang biasa dikenal Likert’s Four Systems yang mana gaya atau sitem manajerial berdasarkan pada suatu analisi beberapa variabel manajerial yakni motivasi, omunikais, interaksi, pengambilan keputusan, pengawasan, level tanggung jawab, dan kinerja. Likert (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.249-252) membagi kedalam 4 tipe manajerial antara lain :
1.      Sistem 1 : Gaya penguasa mutlak ( the exploitative authorirative)
2.      Sistem 2 : Gaya semi mutlak (the benevolent authoritative system)
3.      Sistem 3 : Gaya penasihat (the consultative system)
4.      Sistem 4 : Gaya pengajak-serta (the participative management system)

         Dalam kasus Marmud ini, disarankan untuk manajer PT Makmur Sekali menerapkan keempat sistem dengan mencampurkan atau mengkombinasikan beberapa kategori dari sistem yang berbeda. Likert dalam teorinya menyatakan bahwa keempat sistem tersebut tidak dapat terpisah satu sama lain, dan yang sering terjadi adalah pencampuran keempat sistem tersebut. Sesuai dengan permasalahan pada kasus diatas. Dalam kategori motivasi dapat menerapkan pada sistem 2 yakni motivasi dilakukan dengan memberikan penghargaan dan juga sanksi untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Pada pengawasan dapat menerapkan pada sistem 1 yakni memberi bimbingan sepenuhnya dan pengawasan ketat pada karyawan, agar budaya malas dapat diminimalisir. Selanjutnya, dalam kategori interaksi dapat mengadopsi pada sistem 4 yakni interaksi cukup sering pada atasan dan bawahan. Pada pengambilan keputusan pada sistem 4 yakni karyawan mulai dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Sedangkan untuk kategori komunikasi dan level tanggung jawab pada tujuan organisasi disarankan mengadopsi sistem 3 yang mana komunikasi dua arah dari atas ke bawah dapat mengurangi persaingan antar kelompok, dan karyawan tidak hanya manajer juga mulai perhatian dan komitmen dalam pencapaian tujuan organisasi. Ini diharapkan karyawan yang malas lebih memiliki rasa saling memiliki untuk meningkatkan produktivitas kerja dalam sebuah organisasi. Terakhir, pada kinerja dapat menerapkan sistem 4 agar tetap mempertahankan pada produktivitas kerja tingkat tinggi, kepuasan yang tinggi, dan turnover yang rendah.



KASUS 4 : SDA tiba-tiba muncul dalam kampanye Prabowo saat pilpres dan menyatakan secara terbuka mendukung Prabowo. Aksi SDA ini mendapat protes dari sejumlah anggota partai, baik di Dewan pimpinan pusat maupun di daerah. Ada yang menyebut aksi SDA sebagai pendapat pribadi dan tidak mewakili partai.
Saat peresmian Gedung FISIP A dan B menjadi nama dua professor, muncul berbagai reaksi, baik dari mahasiswa, staf maupun dosen. Ada yang mengatakan: “lho darimana ide itu? Siapa yg memprakarsainya? Apa dasarnya? Wah.. Biasanya nama gedung diambil dari mereka yg sdh berpulang, hayo siapa yang berani menempati professor X?
- Menjelaskan secara teoritis, respon terhadap peristiwa di atas? Kesalahannya di mana?

Pada kemunculan SDA secara tiba-tiba dan menyatakan secara terbuka untuk mendukung Prabowo, sejumlah anggota partai baik di Dewan pimpinan pusat maupun daerah mengeluarkan bentuk protes. Protes yang dilakukan berkaitan dengan Teori atribusi ( attribution theory ) yang membahas tentang bagaimana individu menarik kesimpulan tentang penyebab dari suatu perilaku, baik itu perilaku dirinya maupun perilaku seseorang (termasuk organisasi) lainnya. Perilaku komunikasi dipengaruhi oleh atribusi seseorang terhadap dirinya maupun lawan bicara. Komunikasi yang efektif terjadi karena kesalahan interpretasi, karena atribusi adalah hasil interpretasi terhadap motif maupun perilaku tertentu (Kriyantono, 2014, h.171). Dalam kasus ini, menyatakan bahwa SDA yang tiba-tiba muncul dalam kampanye Prabowo membuat sejumlaha anggota partai menarik kesimpulan bahwa mendapat yang dikemukan oleh SDA tidak berkaitan dengan partai.
Selanjutnya, kasus peresmian Gedung A dan B yang memunculkan beragam reaksi, pertanyaan, dan spekulasi jika ditelaah lebih lanjut terdapat sebuah kesalahan yang merujuk pada konsep noise yang dalam komunikadi menyebabakan munculnya konsep entropy. Entropy diartikan sebagai situasi ketidakpastian, situasi yang tidak jelas, situasi yang tidak teratur atau yang meragukan. Munculnya beragam spekulasi tentang asal-usul dalam penamaan gedung dan timbul beragam pertanyaan yang simpang siur dan tidak jelas asal usulnya dapat dikatakan sebuah entropy. Kriyantono (2014, h.135) menjelaskan bahwa dalam situasi ini seseorang membutuhkan sesuatu yang dinamakan informasi yang digunakan untuk mengurangi ketidakpastian ini. Sendjaja (dikutip dari Kriyantono, 2014 h. 135) bahwa informasi menurut teori informasi dapat diartikan sebagai “jumlah ketidak pastian yang dapat diukur dengan cara mereduksi sejumlah alternatif pilihan yang tersedia atau dengan mengurangkannya melalui pemakaian alternatif yang tersedia”. Dalam hal ini masih terdapat banyak ketidakpatian akan kebenaran informasi sumber yang ada berkaitan dengan asal-usul penamaan. Menurut Kriyantono ( 2014, h.136) karakteristik informasi adalah semakin seseorang berada dalam ketidakpastian, maka semakin banyak alternatif pilihan atau informasi yang digunakannya. Atau sebaliknya, semakin banyak informasi yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi seseorang berada dalam ketidakpastian. Hal ini dapat kita temui dalam kasus diatas, bahwa muncul ketidakpastian akan asal-usul penamaan gedung A dan B karena informasi yang didapatkan semakin banyak. Kualitas  informasi lah yang menentukan nilai kebenaran informasi yang digunakan untuk mereduksi sejumlah alternatif pilihan dan mengurangi ketidak pastian yang ada. Untuk itu, perlu mencari informasi yang benar, berkulitas dan terpercaya untuk menjawab berbagai ketidakpastian akan kebeneran informasi. Berbagai ganggaun inilah yang pada akhirnya akan menyebabkan kesalahan persepsi atau miscomunication sehingga pesan yang disampaikan public relations akan dipersepsi berbeda oleh publik. Upaya dalam mengurangi atau bertanya sejumlah alternatif pilihan ini disebut dengan redundancy (Kriyantono, 2014, h.137). Kasus ini juga bisa diidentifikasi dengan menggunakan Teori Situational of the Publics melalui variabel problem recognition dan constraint recognition Grunig & Hunt( dikutip dari Kriyantono, 2014, h. 158) yang menyatakan bahwa individu akan berpikir atau berkomunikasi tentang suatu isu hanya jika mereka menyadari (mendeteksi) kehadiran isu tersebut. Seseorang akan merespons suatu masalah yang muncul dari situasi eksternal, baik lingkungan maupun sistem sosialnya  yang muncul dari dalam dirinya, seperti kurang pemahaman akan situasi yang terjadi. Situasi dalam kasus ini mengenai penamaan gedung yang menjadi permasalahan bagi mahasiswa, staf, maupun dosen yang muncul sebagai reaksi atas ketidakpahaman terhadap kondisi tertentu. Akan tetapi, menurut saya dalam kondisi ini mahasiswa, satf, maupun dosen masih bersikap pasif dalam mencari informasi terkait penamaan gedung baru tersebut.

KASUS 5 : PT Hidup Sejahtera (HS) adalah perusahaan dengan produk asuransi jiwa. Perusahaan ini adalah perusahaan besar. Tetapi, ternyata kalah dengan perusahaan Besar Sekali (BS) yang berada di sebelahnya. BS bergerak di bidang jasa catering. BS sering mendapat liputan media.
Jelaskan:
Apa yg hrs dilakukan HS?

Dalam kasus ini kedua perusahaan memiliki segmentasi yang berbeda, perusahaan BS sering mendapat liputan media sedangkan perusahaan PT Hidup Sejahtera, sebaliknya. Strategi yang dapat dilakukan oleh perusahaan HS adalah terkait dengan publisitas/ model press agentry. Kriyantono (2014, h.91) menjelaskan bahwa model ini merupakan bentuk tertua dari public relations yang muncul pada tahun 1850. Hingga pada tahun 1900, model ini masih menjadi model utama yang mana public relations banyak melakukan propaganda atau kampanye untuk tujuan pubisitas media yang menguntungkan pihaknya. Dalam konsep ini, penggunaan model press agentry bertujuan untuk meraih perhatian dan liputan media. Strategi ini dapat diterapkan oleh public relations perusahaan HS dengan tujuan mendapatkan publisitas dan perhatian media.  Berkaitan dengan hal itu, manajamen impresi berkaitan dengan strategi individu atau organisasi untuk mempresentasikan dirinya selama interaksi dengan pihak lain (Kriyantono, 2014, h.222). Strategi ini diterapkan agar pihak tertentu dapat mengenal sebuah organisasi atau perusahaan menggunakan atribut atau simbol tertentu dalam upaya presentasi diri. Konsep presentasi diri sendiri diterapkan untuk menjelaskan bagaimana individu dapat membentuk maupun membangun impresi orang lain. Ini diperlukan oleh perusahaan HS agar mendapatkan perhatian oleh khalayak. Jones (dikutip dari Kriyantono, 2014, h.222) menyatakan bahwa ada lima tipologi presentasi diri yakni : Strategi integration (menyenangkan orang lain), strategi self promotion (promosi diri), startegi exemplification (sebagai contoh), strategi supplication (self handicapping) dan strategi intimdation. Kasus yang dialami HS dapat menerapkan salah satu tipologi presentasi diri yakni strategi self promotion (promosi diri) , yang digunakan agar diimpresikan sebagai organisasi yang kompeten, khususnya pada bidang jasa sesuai dengan segmen perusahaan HS dengan strategi yang dilaksanakan dengan cara menampilkan prestasi yang dicapai, hal-hal baik terhadap publik, ataupun dapat menampilkan berbagai penghargaan yang diperoleh atas prestasi perusahaan. Adapun startegi tersebut selain akan mempromosikan diri juga diharapkan akan memperoleh perhatian publik khususnya media. Tidak kalah penting dan menarik bahwa Teori Agenda building- Information Subsidies menjadi teori yang digunakan sebagai dasar mendapat pemberitaan media. Seperti yang dijelaskan oleh Kriyantono (2014, h.325) bahwa teori ini menjadi dasar bagi public relations untuk membuat program yang dapat memengaruhi agenda media. Menjadi agenda media berarti program public relations mendapat liputan media berkali-kali karena dianggap sesuatu yang penting. Hal ini sangat menguntungkan bagi perusahaan sebagai strategi pencitraan organisasi. Kriyantono (2014, h.328-329) menambahkan bahwa seorang public relations harus memanfaatkan media massa sebagai mitra dalam menyebarkan informasi tentang organisasi atau perusahaan. Media massa memiliki peranan penting dalam praktik public relations, karena memiliki pengaruh dalam membentuk opini publik dan kemampuannya dalam mentransmisikan serta menggandakan pesan secara cepat ditambah bagaiamana  media itu dapat menjangkau khalayak yang besar. Upaya inilah yang dinamakan publisitas, yakni pesan yang direncanakan, dieksekusi, dan didistribusikan melalui media massa untuk memenuhi kepentingan publik tanpa membayar pada media. Asumsinya, bahwa semakin sering informasi tetang organisasi yang  dimuat oleh media, maka semakin besar pula perhatian publik yang didapatkan. Tentunya ini akan berpengaruh pada organisasi atau perusahaan sesuai denga kasus yang dialami perusahaan HS diatas.


DAFTAR PUSTAKA
Kriyantono, R. (2014). Teori-Teori Public Relations Perspektif Barat & Lokal : Aplikasi Penelitian dan Praktik. Jakarta: Kencana.