Kronologis Kasus Bank Century
Bank Century
merupakan hasil merger Bank CIC milik Robert Tantular dengan Bank Pikko dan
Bank Danpac pada 2004. Bank Century dilaporkan mengalami masalah likuiditas
yang serius dan manajemen Bank Century mengajukan permintaan pinjaman jangka
pendek senilai Rp 1 triliun dari Bank Indonesia sekitar akhir Oktober 2008 atau
awal November 2008.
Kasus korupsi
atas pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank Century dan
penetapan Bank Century sebagai "bank gagal berdampak sistemik" seolah
tenggelam selama tiga tahun terakhir ini atau setelah perkara mantan Deputi
Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya berkekuatan hukum tetap pada 2015 lalu.
Semenjak itu,
tak terlihat geliat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti kasus
tersebut. Padahal terdapat sekitar 10 nama yang disebut turut terlibat dalam
kasus yang merugikan keuangan negara hingga Rp 8 triliun itu. Pertanyaan
mengenai perkembangan kasus ini yang kerap dilontarkan awak media dalam
sejumlah kesempatan hanya dijawab normatif oleh pimpinan KPK.
Namun, kasus ini
memasuki babak baru setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel)
mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Masyarakat Antikorupsi
(Maki) terhadap KPK terkait lambannya penanganan kasus Century. Dalam putusannya,
Hakim tunggal PN Jaksel, Effendi Mukhtar memerintahkan termohon, yakni KPK
untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi
Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka
terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan. Kemudian
melanjutkannya dengan pendakwaan dan penuntutan dalam proses persidangan di
Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat atau melimpahkannya kepada kepolisian atau
kejaksaan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan dalam proses persidangan di
PN Tipikor Jakpus.
. Kasus Bank Century ini dimulai pada sekitar bulan
Oktober tahun 2008 lalu. Diawali dengan jatuh temponya sekitar US$ 56 juta
surat-surat berharga milik Bank Century dan akhirnya gagal bayar. Bank Century
pun menderita kesulitan likuiditas. Akhir Oktober 2008 itu, CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio
kecukupan modal Bank Century minus 3,53%.
Kesulitan likuiditas tersebut berlanjut pada
gagalnya kliring atau tidak dapat membayar dana permintaan nasabah oleh Bank
Century yang diakibatkan oleh kegagalan menyediakan dana (prefund) sehingga
terjadi rush (penarikan uang secara
bersamaan dalam jumlah yang besar). Pada 20 November 2008, BI mengirimkan surat
kepada Menkeu, yang berisikan pemberitahuan penetapan Bank Century sebagai bank
gagal berdampak sistemik dan memerlukan penanganan lebih lanjut. BI kemudian
mengusulkan dilakukannya langkah penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Malam harinya, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang terdiri dari
BI, Menkeu, dan LPS mengadakan pertemuan membahas permasalahan Bank Century.
Dalam rapat
tersebut, BI mengumumkan CAR Bank Century mengalami minus hingga 3,52 persen.
Maka diputuskanlah untuk menaikkan CAR menjadi 8 persen dengan menambah
kebutuhan modal sebesar Rp. 632 miliar. Dari rapat itu juga akhirnya Bank
Century diserahkan kepada LPS. Setelahnya, keluar keputusan untuk mencekal
Robert Tantular, seorang pemegang saham Bank Century serta ketujuh pengurus
lainnya, yaitu Sualiaman AB (Komisaris Utama), Poerwanto Kamajadi (Komisaris),
Rusli Prakarta (Komisaris), Hermanus Hasan Muslim (Direktur Utama), Lila K
Gondokusumo (Direktur Pemasaran), dan Edward M Situmorang (Direktur Kepatuhan).
Pada 23 November
2008, LPS memutuskan untuk memberikan dana talangan sejumlah Rp. 2,7 Triliun
untuk meningkatkan CAR menjadi 10%. LPS kemudian juga memberikan dana sebesar
Rp. 2,2 T untuk memenuhi tingkat kesehatan Bank Century pada awal Desember. Ribuan
investor Antaboga mulai mengajukan tuntutan terhadap penggelapan dana investasi
senilai Rp. 1,38 T yang ditengarai mengalir kepada Robert Tantular. Di akhir
tahun 2008, Bank Century dilaporkan mengalami kerugian sebesar Rp. 7,8 T selama
tahun 2008.
Februari 2009,
LPS kembali memberikan bantuan dana sebesar Rp. 1,5 T. Akhirnya pada Mei 2009
Bank Century keluar dari pengawasan khusus BI. Pada bulan Juli 2009, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mulai menggugat biaya
penyelamatan Bank Century yang dianggap terlalu besar. Namun pada bulan yang
sama, LPS masih memberikan suntikan dana Rp. 630 Miliar.
Agustus 2009,
DPR memanggil Menkeu, BI, dan LPS untuk meminta penjelasan perihal pembengkakan
suntikan modal hingga Rp. 6,7 T, padahal pemerintah hanya meminta persetujuan
sebesar Rp. 1,3 T saja. Dalam pertemuan dengan DPR itu pula, Menkeu menegaskan
dampak sistemik yang akan terjadi pada perbankan Indonesia jika Bank Century ditutup.
Beberapa waktu
kemudian, Bank Century telah berganti nama menjadi Bank Mutiara. Namun, kasusnya
belum juga tuntas. Poin penting dalam kasus pengucuran dana talangan pada Bank
Century tersebut adalah mengapa walaupun rapat paripurna DPR mengatakan tidak
ada pengucuran dana, namun pemerintah saat itu tetap saja mengucurkan aliran
dana segar ke Bank Century.
Hal inilah yang
akhirnya menggugah sebagian anggota DPR yang menamakan dirinya sebagai tim
sembilan berinisiatif untuk mempelopori pengajuan hak angket kasus Bank Century
ini. Tim sembilan ini terdiri dari Maruarar Sirait dari Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), Ahmad Muzani dari Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra), Andi Rahmat dan Mukhamad Misbakhun dari Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Lili Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Chandra Tirta Wijaya
dari Partai Amanat Nasional (PAN), Kurdi Mukhtar dari Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), dan Bambang Soesatyo dari Partai Golongan Karya (Golkar),
serta Akbar Faisal dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Setelah melalui
proses panjang, akhirnya terbentuklah panitia khusus (pansus) hak angket
pengusutan kasus Bank Century yang diketuai oleh Idrus Marham dari Fraksi
Partai Golkar. Di awal terbentuknya, pansus menyatakan akan membongkar tuntas
kasus bailout Bank Century yang melibatkan uang negara hingga Rp. 6,7 triliun. Pansus
bakal mengusut adakah unsur kesengajaan dalam proses merger Bank Century yang
bermasalah akibat lemahnya pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia. Pansus juga
mendapatkan dukungan dari Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang
Yudhoyono. SBY menyatakan bahwa kasus Bank Century ini harus dibuka
selebar-lebarnya hingga terang benderang.
Laporan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diserahkan kepada DPR menjadi salah satu acuan
kerja pansus. Dalam laporannya tersebut, BPK menemukan adanya rekayasa
akuntansi yang dilakukan manajemen Bank Century agar laporan keuangan bank tetap
menunjukkan kecukupan modal. Hal tersebut dibiarkan begitu saja oleh Bank
Indonesia (BI) sebagai pengawas bank, dengan alasan bahwa pemegang saham telah
berkomitmen menjual SSB bermasalah serta membuat skema penyelesaian. Namun,
komitmen skema penyelesaian tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh pemegang
saham pengendali Bank Century.
Selama masa
kerja pansus selama beberapa bulan, pansus telah memanggil semua pihak yang
terkait dengan kasus Bank Century ini. Mulai dari manajemen Bank Century, KKSK,
Menteri Keuangan, Gubernur BI bersama jajarannya, LPS, BPK, PPATK, pemilik
saham, dan nasabah Bank Century, serta pihak-pihak lain yang terkait, termasuk
Jusuf Kalla, Wakil Presiden yang saat kasus pengucuran dana itu terjadi sedang
menjabat sebagai Presiden ad interim menggantikan SBY yang sedang berada di
luar negeri.
Setelah masa
kerja pansus berakhir, kasus ini belum juga menunjukkan ujungnya. Pansus
terkesan hanya menjadi arena drama politik dan ajang meningkatkan bargaining
position atau nilai tawar partai politik. Pihak-pihak terkait yang dipanggil ke
DPR untuk memberikan keterangan di hadapan pansus, hanya memberikan jawaban
normatif, bahkan seringkali mengutarakan ketidaktahuan mereka. Silang pendapat
bermunculan. Perdebatan memanas tentang apakah keputusan pemberian PMS tersebut
tepat atau tidak, mengapa sampai terjadi, dan sebagainya. Bahkan, sampai muncul
dugaan dari beberapa pihak bahwa ada sebagian dana dari Rp. 6,7 T yang mengalir
kepada partai dan capres-cawapres tertentu saat penyelenggaraan Pemilu 2009
lalu, dalam hal ini Partai Demokrat dan SBY-Boediono.
Di akhir
perjalanan pansus, konflik-konflik lain mulai memanas. Perdebatan tidak hanya
terjadi antara partai oposisi dengan partai yang tergabung dalam koalisi
pemerintahan yang dibangun SBY dan Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu,
namun juga terjadi perdebatan antar partai koalisi, seperti Partai Demokrat
dengan Partai Golkar dan PKS. Tekanan dan dugaan upaya pengalihan isu pun
menguat. Partai-partai yang bergabung di koalisi namun menunjukkan sikap tidak
bersahabat dalam panitia angket mendapatkan sejumlah tekanan, seperti membuka
kasus-kasus lain seperti tunggakan pajak, korupsi di Departemen Sosial, hingga
ancaman reshuffle, atau bahkan secara terang-terangan, anggota Dewan Pembina
Partai Demokrat, Haryono Isman, meminta partai koalisi yang tidak sejalan untuk
menarik kadernya dari kabinet.
Tepat pada hari
Selasa, 23 Februari 2010, pansus angket Century pun menyampaikan pandangan
akhir tiap fraksi. Dalam pandangan akhir tersebut, setidaknya tujuh fraksi,
yaitu fraksi PDIP, fraksi Partai Gerindra, fraksi Partai Golkar, fraksi PKS,
fraksi Partai Hanura, fraksi PAN, dan fraksi PPP menyatakan bahwa ada kesalahan
dalam proses pemberian dana talangan untuk Bank Century tersebut. Sementara
itu, dua fraksi lainnya, yakni fraksi Partai Demokrat dan fraksi PKB menyatakan
bahwa pemberian dana tersebut telah sesuai dengan prosedur dan tidak ada yang
bersalah. Beberapa fraksi, dalam pandangan akhirnya juga menyebutkan beberapa
nama yang dianggap bersalah dan bertanggung jawab atas keluarnya dana negara
sebesar Rp. 6,7 T yang kemudian tidak jelas kemana alirannya. Termasuk di
antara nama-nama yang disebut adalah Boediono, Wakil Presiden RI saat ini yang
dahulu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia saat kasus ini terjadi. Sri
Mulyani, Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 1 dan 2 juga
dianggap bertanggung jawab, dengan jabatannya sebagai ketua KSSK saat pemberian
dana talangan.
Dalam rapat
paripurna DPR RI pada Selasa, 2 Maret 2010, pansus membacakan pandangan
akhirnya dengan mengajukan dua opsi pilihan. Pilihan pertama atau disebut opsi
A, yaitu bahwa kebijakan mem-bailout Bank Century adalah dibenarkan karena
alasan krisis ekonomi global pada saat itu, namun pada pelaksanaan pemberian
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), PMS, dan sebagainya terdapat
penyimpangan-penyimpangan yang harus ditelusuri lebih lanjut. Sedangkan pilihan
kedua, atau disebut sebagai opsi C menyimpulkan bahwa baik kebijakan maupun
pelaksanaan pada proses pemberian dana talangan kepada Bank Century ini
semuanya adalah salah.
Rapat paripurna
DPR RI ini diwarnai juga dengan aksi demonstrasi oleh berbagai elemen massa
yang ingin mengawal rapat paripurna agar menghasilkan keputusan yang sesuai
dengan apa yang diharapkan rakyat. Demonstrasi berlangsung serentak di depan
gedung DPR serta di berbagai kota lain seperti Makassar, Yogyakarta, Bandung,
dan lainnya. Proses pengambilan keputusan dilaksanakan pada 3 Maret 2010,
setelah sempat pada paripurna hari pertama (02/03/10) mengalami kericuhan yang
dipicu oleh kurang akomodatifnya Ketua DPR, Marzuki Alie yang memimpin jalannya
rapat paripurna.
Pada hari kedua,
walaupun proses berjalan alot, dipenuhi berbagai dinamika dan diwarnai hujan
interupsi, akhirnya Rapat Paripurna pun memutuskan opsi C sebagai pilihan
paripurna setelah melewati mekanisme voting atau pemungutan suara dari seluruh
anggota DPR RI yang hadir. Dalam pemungutan suara tersebut, ada enam fraksi,
yakni fraksi Partai Golkar, fraksi PDIP, fraksi PKS, fraksi Partai Gerindra,
dan fraksi Partai Hanura, serta fraksi PPP yang memilih opsi C. Sedangkan tiga
fraksi lainnya, yaitu fraksi PD, fraksi PAN, dan fraksi PKB memilih opsi A.
Satu hal menarik yang juga cukup mendapat perhatian adalah adanya satu orang
anggota fraksi PKB, Lily Wahid yang berbeda pilihan dari apa yang menjadi
pilihan fraksinya. Lily, seorang diri dari fraksi PKB yang memilih opsi C. 325
berbanding 212 untuk kemenangan opsi C.
Satu hari pasca
sidang paripurna, Presiden SBY berpidato di Istana menanggapi hasil paripurna
DPR. Dalam pidatonya, SBY kembali menegaskan pembelaannya terhadap kebijakan
bailout dan kepada Boediono dan Sri Mulyani. SBY menyebut bahwa kebijakan
tersebut sudah tepat dan bahkan mengatakan bahwa Boediono dan Sri Mulyani
adalah pihak yang berjasa menyelamatkan perekonomian Indonesia. Pidato SBY
tersebut seakan menafikan hasil Rapat Paripurna DPR RI. Satu babak drama kasus
Bank Century telah selesai. Namun, bukan berarti selesai begitu saja. Apa yang
diputuskan oleh rapat paripurna DPR tentu membawa konsekuensi-konsekuensi
tertentu.
Desember 2012
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan kepada tim pengawas
Bank Century di DPR bahwa Budi Mulya dan mantan Deputi Gubernur BI Siti Fajriah
bertanggung jawab atas kerugian negara akibat penggelontoran dana talangan
Century.
Februari 2013
KPK menetapkan Budi Mulya sebagai tersangka atas dugaan bersama-sama melakukan
perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang terkait pemberian FPJP dan
penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
15 November 2013
KPK menahan Budi Mulya setelah diperiksa untuk pertama kalinya sebagai
tersangka. 6 Maret 2014 Budi Mulya menjalani sidang pertama. 16 Juni 2014 Jaksa
menuntut Budi Mulya dengan pidana penjara 17 tahun dan denda 800 juta karena menyalahgunakan
kewenangan atau tindakan melawan hukum terkait penetapan Bank Century sebagai
bank gagal berdampak sistemik dan pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek
sehingga merugikan keuangan Negara Rp7 triliun.
16 Juli 2014, Budi divonis penjara 10 tahun dengan denda Rp
500 juta subsider kurungan 5 bulan karena terbukti terlibat kasus korupsi
pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank Century dan
penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
9 April 2015, Mahkamah
Agung menerima kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan
Korupsi atas mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter
dan Devisa Budi Mulya yang merupakan terdakwa kasus Century. Dengan demikian,
hukuman yang diterima Budi Mulya diperberat menjadi 15 tahun dan denda Rp 1 miliar
subsider 8 bulan kurungan.
10 April 2018,
Pengadilan Jakarta Selatan memerintahkan KPK untuk memproses kembali kasus
korupsi Bank Century dan menetapkan Boediono sebagai tersangka.Perkembangan
kasus Bank Century ini dari waktu ke waktu tidak terlepas dari peranan media
yang selalu memberikan pantauan dan laporan perkembangan kasus tersebut. Melalui
media juga, masyarakat akhirnya mengetahui seluk beluk kasus ini, yang
sebelumnya tidak terungkap ke publik.
Analisis Kasus dengan Teori
Masalah yang muncul
dalam kasus Bank Century adalah diawali dengan jatuh temponya sekitar US$ 56
juta surat-surat berharga milik Bank Century yang akhirnya gagal bayar. Bank
Century menderita kesulitan likuiditas. Akhir Oktober 2008, CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio
kecukupan modal Bank Century minus 3,53% hingga gagalnya kliring atau tidak dapat membayar
dana permintaan nasabah oleh Bank Century yang diakibatkan oleh kegagalan
menyediakan dana (prefund) sehingga terjadi rush.
Laporan LPS menyebutkan dari 8.577 nasabah penyimpanan yang menarik
simpanannya, sebanyak 7.770 nasabah atau 91 persen merupakan nasabah perorangan.
Sebanyak 807 atau 9 persen merupakan nasabah korporat/ BUMN. Adapun jumlah
pembayaran kepada nasabah perorangan sebesar Rp 3,27 triliun atau 81 persen
dari total penarikan simpanan. Sebanyak 8.249 nasabah (96 persen) merupakan
nasabah penyimpanan dengan nilai di bawah Rp 2 miliar. Nilai penarikan nasabah
golongan ini mencapai Rp 2,19 triliun atau 54 persen. Sedangkan 328 nasabah (4
persen) merupakan pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Penting tidaknya
masalah diukur berdasarkan dampaknya bagi operasional dan reputasi organisasi
secara menyeluruh. Jadi, meskipun masalah dan isu sama-sama sebagai tantangan,
tidak semua masalah disebut isu tetapi setiap isu pasti mengandung masalah (Kriyantono, 2015,
h. 154). Kriyantono juga mengacu pada tulisan Jaques (2004) dan Harrison (2008)
bahwa isu dapat diformulasikan “Masalah + Dampak = Isu”.
Chase (dikutip dalam
Kriyantono, 2015, h.38) menjelaskan bahwa isu sebagai “an unsettled matther
which is ready for decision”. Isu sebagai permasalahan yang belum terselesaikan
dan karenanya perlu keputusan cepat untuk mengatasinya..Ketimbang harus menutup
bank yang dikhawatirkan akan memicu rush (penarikan uang besar-besaran) dan
kepanikan di masyarakat, pemerintah dan BI melalui KSSK memilih memberi bantuan
dana talangan pada Bank Century agar tetap beroperasi. Dalam penyelamatan bank,
otoritas tidak melihat bank sebagai entitas semata, tetapi dampaknya bagi
perbankan dan perekonomian secara luas. Pemberian dana talangan kepada Bank
Century harus dilakukan. Jika pemerintah membiarkan bank jatuh pada
Oktober-November 2008, Indonesia diyakini akan mengalami krisis seperti yang
terjadi tahun 1997/1998, dan biayanya sangat luar biasa, termasuk biaya sosial
dan politik. Isu inilah yang muncul di publik dan membuat pemerintah harus
memikirkan keputusan yang tepat dalam menangani hal ini. Isu yang beredar
mengatakan bahwa Bank Century sebagai bank gagal dan akan tutup menjadi
kekhawatiran masyarakat atau nasabah bank .
Isu Bank Century ini
pada awalnya dapat dikatakan termasuk kedalam kategori isu internal organisasi,
karena hanya diketahui oleh pihak manajemen dan anggota organisasi lainnya. Pada
akhirnya, isu ini diberitakan oleh media dan mengungkap beberapa fakta-fakta
yang berkembang sehingga muncul isu eksternal yang membuat ancaman terhadap
organisasi dan harus mempertahankan diri agar tidak mengalami kerugian
reputasi. Perkembangan kasus ini cukup menyita perhatian publik dan masyarakat
dan dapat dianalisis bagaimana perkembangan isu ini dalam tahapan perkembangan
isu (life cycle). Public relations
diharapkan dapat memahami tahapan perkembangan ini karena tipisnya perbedaan
antara isu dan krisis, karena dengan ini dapat menentukan jenis respons yang
tepat dalam organisasi (Kriyantono, 2015, h.164).
Apabila diidentifikasi
dalam Tahap Potential Stage kasus
Bank Century ini isu dapat dijelaskan ketika Bank Century telah mengalami
masalah likuiditas, pihak Bank Century telah melakukan tindakan-tindakan tertentu
berkaitan dengan isu ini. Dapat dibuktikan ketika Komite Kebijakan Sektor
Keuangan (KKSK) yang terdiri dari BI, Menkeu, dan LPS mengadakan pertemuan membahas
permasalahan Bank Century pada akhir Oktober 2008, CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal Bank Century
minus 3,53%.
Selanjutnya,
tahap Imminent Stage menurut
Kriyantono (2015, h.166) adalah ketiku isu bekembang karena isu-isu tersebut
telah mempunyai dukungan publik, yakni kelompok-kelompok yang saling mendukung
dan memberikan perhatian pada isu tersebut. Media sudah mulai memberitakan
kasus Bank Century ini sehingga isu semakin berkembang pada tahap ini.
Critical Stage kasus Bank Century terjadi ketika LPS mulai memberi
bantuan dana talangan terhadap Bank Century hingga 6,76 triliun untuk membantu memulihkan keuangan Dalam catatan
LPS, biaya penanganan mencapai Rp 6,76 triliun, di mana Rp 5,31 triliun
disetorkan secara tunai melalui rekening giro Bank Century di Bank Indonesia.
Kemudian Rp 1,54 triliun berbentuk penyerahan Surat Utang Negara (SUN). Dari
total dana tersebut sebagian besar, yakni Rp 4,02 triliun atau 59 persen
digunakan untuk membayar kewajiban bank kepada 8.577 nasabah penyimpanan.
Kemudian Rp 2,25 triliun atau 33 persen masih berupa aset Bank Century dalam
bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Fasilitas Simpanan Bank Indonesia
(FaSBI), surat utang negara (SUN), dan Giro Wajib Minimum (GWM). Adapun sisanya
Rp 490 miliar atau 8 persen dipakai untuk membayar pinjaman antar-bank,
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), biaya real-time gross settlement
(RTGS) dan denda GWM, serta pembelian valuta asing. Dalam Critical Stage ini juga sudah terbagi dalam dua kelompok, yakni
setuju dan menentang atas keputusan oleh Bank Indonesia. Hal ini dapat
dibuktikan ketika Pansus angket Century yang dibentuk untuk mempelopori pengajuan
hak angket menyampaikan pandangan akhir tiap fraksi. Setidaknya tujuh fraksi,
yaitu fraksi PDIP, fraksi Partai Gerindra, fraksi Partai Golkar, fraksi PKS,
fraksi Partai Hanura, fraksi PAN, dan fraksi PPP menyatakan bahwa ada kesalahan
dalam proses pemberian dana talangan untuk Bank Century Sementara itu, dua
fraksi lainnya, yakni fraksi Partai Demokrat dan fraksi PKB menyatakan bahwa
pemberian dana tersebut telah sesuai dengan prosedur dan tidak ada yang
bersalah.
Dormant Stage adalah ketika isu telah melewati siklus
perkembangannya dan organisasi telah melewatinya meski mengeluarkan energi
besar, waktu lama dan biaya besar. Publik sudah puas karena pertanyaan seputar
isu “dapat terjawab” dan pemberitaan media mulai menurun. Hal ini ditandai
ketika telah diputuskan vonis bersalah pada Budi Mulya selaku mantan Deputi
Gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa dengan hukuman 15
tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan. Tetapi, muncul kembali
kasus Bank Century ini pada September 2018 setelah Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan (PN Jaksel) mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan
Masyarakat Antikorupsi (Maki) terhadap KPK terkait lambannya penanganan kasus
Century. Dalam putusannya, Hakim tunggal PN Jaksel, Effendi Mukhtar
memerintahkan termohon, yakni KPK untuk melakukan proses hukum selanjutnya
sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan
penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden
Pardede dan kawan-kawan. Sesuai dengan pendapat Kriyantono (2015, h.169) bahwa dalam
tahap ini, memang memungkinkan isu muncul kembali sampai seseorang memunculkan
kembali dengan pemikiraan dan persoalan baru atau muncul isu baru yang
mempunyai keterkaitan dengan isu sebenarnya.
Chase (dalam
Kriyantono, 2015, h. 174) mendefiniskan manajemen isu sebagai sebuah alata yang
dapat digunakan perusahaan untuk mengidentifikasi, menganalisis dan mengelola
isu-isu yang berkembang dan merespons isu-isu sebelum menjadi pengetahuan
publik. Dalam kasus ini, manjemen isu yang dilakukan adalah ketika Bank Century
meminta pendanaan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi masalahnya, dan BI
mengirimkan surat kepada Menkeu, yang berisikan pemberitahuan penetapan Bank
Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan memerlukan penanganan lebih
lanjut. BI kemudian mengusulkan dilakukannya langkah penyelamatan oleh Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS).
Risiko dapat
diartikan sebagai kemungkinan munculnya akibat-akibat yang negatif/ merusak sebagai hasil suatu
aktivitas organisasi (Walaski, dalam Kriyantono, 2015, h.176). Harrison (2008)
mengatakan bahwa Manajemen risiko adalah proses untuk mengurangi risiko yang
lebih besar yang disebabkan tidak berfungsinya aktivitas organisasi. Risiko
dalam kasus Century ini adalah ditutupnya Bank Century dan dinyatakan sebagai
bank gagal. Sedangkan, manajemen risiko yang dilakukan adalah ketika tim Komite
Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang terdiri dari BI, Menkeu, dan LPS berperan
dalam putusan penyelamatan Bank Century dengan memberikan dana talangan yang
berupaya membantu mengembalikan uang nasabah dan berusaha agar bank tidak tutup
yang nantinya akan menimbulkan kekhawatiran nasabah Bank Century dan yang lebih
parah lagi terjadinya rush (penarikan
uang secara bersamaan dalam jumlah yang besar)
Devlin (dikutip
di Kriyantono, 2015, h.196) mendefiniskan krisis sebagai sebuah situasi yang
tidak stabil dengan berbagai kemungkinan menghasilkan dampak yang tidak
diinginkan. Kriyantono (2015,h.195) mengatakan bahwa Secara umum, ada tiga
kemungkinan dampak krisis bagi organisasi, yaitu : (a) organisasi tutup,
diakuisisi oleh organisasi lain atau dinyatakan bangkrut; (b) organisasi masih
eksis tetapi mengalami kerugian finansial, kehilangan kepercayaan publik, dan
kehilangan market share, sehingga
membutuhkan waktu untuk kembali; dan (c) organisasi dapat menjaga reputasi dan
bahkan dapat lebih baik dari saat sebelum ditimpa krisis. Dalam kasus Bank
Century, dampak krisis yang terjadi adalah organisasi tutup, diakuisisi oleh
organisasi lain atau dinyatakan bangkrut. LPS pada 2014 berhasil menjual Bank
Mutiara (eks Bank Century) kepada J Trust, asal Jepang dengan harga penjualan
atas 99 persen saham Bank Mutiara sebesar Rp 4,411 triliun, dan menjadi masalah
karena harganya jauh di bawah biaya bailout.
Kasus Bank
Century tidak berhenti sampai disini, kasus ini berlanjut pada 2018 setelah 3
tahun sudah tidak lagi muncul pada pemberitaan publik. Ada yang menarik dalam
perkembangan kasus Century ini, muncul juga rumor bahwa Presiden SBY terlibat
kasus dalam Bank Century ini. Hal ini dibuktikan dalam Artikel
Asia Sentinel yang dimuat pada Selasa, 11 September 2018 dengan berjudul,
"Indonesia's SBY Goverment: Vast Criminal Conspiracy". Pemberitaan
itu menyebut SBY telah menerima aliran dana gelap sebesar Rp 177 triliun dari
Bank Century. selanjutnya sempat dihapus oleh Asia Sentinel setelah dilakukan
protes oleh Demokrat dan dinaikkan kembali
berita lainnya pada Sabtu, 15 September dengan judul jika berita terkait SBY
dan Century telah menjadi pemberitaan yang viral.
Kasus Bank
Century ini sudah dapat dikatakan sebagai krisis karena sesuai dengan salah
satu karakteristik krisis yaitu menimbulakan Dampak Positif atau Negatif bagi
Operasional Organisasi. Kriyantono (2015, h.203) menejlaskan bahwa krisis dapat
diidentifikasi ketika dampaknya dapat bersifat merusak atau negatif, seperti
penurunan profit, boikot produk, bangkrut, dituntut secara hukum, banyak
manajer senior dan karyawan yang keluar, penurunan kepercayaan publik,
pemerintah dan publik tiada henti-hentinya memeberikan perhatian besar atau
bahkan menginvestigasi organisasi, mengancam reputasi dan nama organisasi,
perubahan yang bersifat tidak produktif (misalnya, kehilangan modal,
pengunduran diri karyawan dan pemutusan hubungan kerja massal, dan hilangnya
waktu untuk mengatasi konflik).
Disisi lain,
sumber krisis yang terjadi pada kasus ini adalah krisis manajemen dan perilaku
karyawan karena gagalnya melaksanakan tanggung jawab seperti korupsi yang telah
dilakukan, take over, masalah
keuangan (Kriyantono, 2015, h. 207). Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham
Samad mengatakan kepada tim pengawas Bank Century di DPR bahwa Budi Mulya dan
mantan Deputi Gubernur BI Siti Fajriah bertanggung jawab atas kerugian negara
akibat penggelontoran dana talangan Century. Ini membuktikan bahwa sumber
krisis terjadi pada kasus ini adalah masalah korupsi yang terjadi dalam proses
penyelesaian permasalahan Bank Century.
DAFTAR PUSTAKA
Kriyantono, R. (2015). Public
Relations, Issue & Crisis Management: Pendekatan Critical Public Relations,
Etnografi Kritis & Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Adiyudha, R. 2018. Demokrat
Laporkan Asia Sentinel ke Dewan Pers. Diakses pada 19 September 2018 dari :
Andriyanto, H. 2018. Babak Baru
Kasus Century. Diakses pada 19 September 2018 dari:
Anonim. 2014. Kilas Balik Kasus
Bank Century. Diakses pada 19 September 2018 dari :
Anonim. 2014. Bank Century: Budi
Mulya divonis 10 tahun. Diakses pada 19 September 2018 dari:
Anonim. 2014. Boediono Sebut Dana
Talangan Cegah Krisis. Diakses pada 19 September 2018 dari :
Dwiyana, I. 2014. Krisis Bank
Century Dipicu Masalah Likuiditas. Diakses pada tanggal 19 September 2018
dari:
Fajrian, 2018. Kronologi Kasus
Bank Century Seret Nama Boediono. Diakses pada 19 September 2018 dari :
Movanita, A. 2015. Kasasi KPK
Dikabulkan, Hukuman Budi Mulya Diperberat Jadi 15 Tahun Penjara. Diakses
pada 19 September 2018 dari :
Ramadhan, B. 2014. Ini Kronologis
Kasus Bank Century. Diakses pada 19 September 2018 dari :
https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/06/n20q0m-ini-kronologis-kasus-bank-century
Tidak ada komentar:
Posting Komentar