Rabu, 19 September 2018

ANALISIS STUDI KASUS BANK CENTURY DALAM PERSPEKTIF PUBLIC RELATIONS


Kronologis Kasus Bank Century
Description: Kronologi Kasus Bank Century Seret Nama Boediono
Bank Century merupakan hasil merger Bank CIC milik Robert Tantular dengan Bank Pikko dan Bank Danpac pada 2004. Bank Century dilaporkan mengalami masalah likuiditas yang serius dan manajemen Bank Century mengajukan permintaan pinjaman jangka pendek senilai Rp 1 triliun dari Bank Indonesia sekitar akhir Oktober 2008 atau awal November 2008.
Kasus korupsi atas pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai "bank gagal berdampak sistemik" seolah tenggelam selama tiga tahun terakhir ini atau setelah perkara mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya berkekuatan hukum tetap pada 2015 lalu.
Semenjak itu, tak terlihat geliat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti kasus tersebut. Padahal terdapat sekitar 10 nama yang disebut turut terlibat dalam kasus yang merugikan keuangan negara hingga Rp 8 triliun itu. Pertanyaan mengenai perkembangan kasus ini yang kerap dilontarkan awak media dalam sejumlah kesempatan hanya dijawab normatif oleh pimpinan KPK.
Namun, kasus ini memasuki babak baru setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Masyarakat Antikorupsi (Maki) terhadap KPK terkait lambannya penanganan kasus Century. Dalam putusannya, Hakim tunggal PN Jaksel, Effendi Mukhtar memerintahkan termohon, yakni KPK untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan. Kemudian melanjutkannya dengan pendakwaan dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat atau melimpahkannya kepada kepolisian atau kejaksaan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan dalam proses persidangan di PN Tipikor Jakpus‎. ‎
.           Kasus Bank Century ini dimulai pada sekitar bulan Oktober tahun 2008 lalu. Diawali dengan jatuh temponya sekitar US$ 56 juta surat-surat berharga milik Bank Century dan akhirnya gagal bayar. Bank Century pun menderita kesulitan likuiditas. Akhir Oktober 2008 itu, CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal Bank Century minus 3,53%.
 Kesulitan likuiditas tersebut berlanjut pada gagalnya kliring atau tidak dapat membayar dana permintaan nasabah oleh Bank Century yang diakibatkan oleh kegagalan menyediakan dana (prefund) sehingga terjadi rush (penarikan uang secara bersamaan dalam jumlah yang besar). Pada 20 November 2008, BI mengirimkan surat kepada Menkeu, yang berisikan pemberitahuan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan memerlukan penanganan lebih lanjut. BI kemudian mengusulkan dilakukannya langkah penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Malam harinya, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang terdiri dari BI, Menkeu, dan LPS mengadakan pertemuan membahas permasalahan Bank Century.
Dalam rapat tersebut, BI mengumumkan CAR Bank Century mengalami minus hingga 3,52 persen. Maka diputuskanlah untuk menaikkan CAR menjadi 8 persen dengan menambah kebutuhan modal sebesar Rp. 632 miliar. Dari rapat itu juga akhirnya Bank Century diserahkan kepada LPS. Setelahnya, keluar keputusan untuk mencekal Robert Tantular, seorang pemegang saham Bank Century serta ketujuh pengurus lainnya, yaitu Sualiaman AB (Komisaris Utama), Poerwanto Kamajadi (Komisaris), Rusli Prakarta (Komisaris), Hermanus Hasan Muslim (Direktur Utama), Lila K Gondokusumo (Direktur Pemasaran), dan Edward M Situmorang (Direktur Kepatuhan).
Pada 23 November 2008, LPS memutuskan untuk memberikan dana talangan sejumlah Rp. 2,7 Triliun untuk meningkatkan CAR menjadi 10%. LPS kemudian juga memberikan dana sebesar Rp. 2,2 T untuk memenuhi tingkat kesehatan Bank Century pada awal Desember. Ribuan investor Antaboga mulai mengajukan tuntutan terhadap penggelapan dana investasi senilai Rp. 1,38 T yang ditengarai mengalir kepada Robert Tantular. Di akhir tahun 2008, Bank Century dilaporkan mengalami kerugian sebesar Rp. 7,8 T selama tahun 2008.
Februari 2009, LPS kembali memberikan bantuan dana sebesar Rp. 1,5 T. Akhirnya pada Mei 2009 Bank Century keluar dari pengawasan khusus BI. Pada bulan Juli 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mulai menggugat biaya penyelamatan Bank Century yang dianggap terlalu besar. Namun pada bulan yang sama, LPS masih memberikan suntikan dana Rp. 630 Miliar.
Agustus 2009, DPR memanggil Menkeu, BI, dan LPS untuk meminta penjelasan perihal pembengkakan suntikan modal hingga Rp. 6,7 T, padahal pemerintah hanya meminta persetujuan sebesar Rp. 1,3 T saja. Dalam pertemuan dengan DPR itu pula, Menkeu menegaskan dampak sistemik yang akan terjadi pada perbankan Indonesia jika Bank Century ditutup.
Beberapa waktu kemudian, Bank Century telah berganti nama menjadi Bank Mutiara. Namun, kasusnya belum juga tuntas. Poin penting dalam kasus pengucuran dana talangan pada Bank Century tersebut adalah mengapa walaupun rapat paripurna DPR mengatakan tidak ada pengucuran dana, namun pemerintah saat itu tetap saja mengucurkan aliran dana segar ke Bank Century.
Hal inilah yang akhirnya menggugah sebagian anggota DPR yang menamakan dirinya sebagai tim sembilan berinisiatif untuk mempelopori pengajuan hak angket kasus Bank Century ini. Tim sembilan ini terdiri dari Maruarar Sirait dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ahmad Muzani dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Andi Rahmat dan Mukhamad Misbakhun dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Lili Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Chandra Tirta Wijaya dari Partai Amanat Nasional (PAN), Kurdi Mukhtar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Bambang Soesatyo dari Partai Golongan Karya (Golkar), serta Akbar Faisal dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Setelah melalui proses panjang, akhirnya terbentuklah panitia khusus (pansus) hak angket pengusutan kasus Bank Century yang diketuai oleh Idrus Marham dari Fraksi Partai Golkar. Di awal terbentuknya, pansus menyatakan akan membongkar tuntas kasus bailout Bank Century yang melibatkan uang negara hingga Rp. 6,7 triliun. Pansus bakal mengusut adakah unsur kesengajaan dalam proses merger Bank Century yang bermasalah akibat lemahnya pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia. Pansus juga mendapatkan dukungan dari Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. SBY menyatakan bahwa kasus Bank Century ini harus dibuka selebar-lebarnya hingga terang benderang.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diserahkan kepada DPR menjadi salah satu acuan kerja pansus. Dalam laporannya tersebut, BPK menemukan adanya rekayasa akuntansi yang dilakukan manajemen Bank Century agar laporan keuangan bank tetap menunjukkan kecukupan modal. Hal tersebut dibiarkan begitu saja oleh Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas bank, dengan alasan bahwa pemegang saham telah berkomitmen menjual SSB bermasalah serta membuat skema penyelesaian. Namun, komitmen skema penyelesaian tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh pemegang saham pengendali Bank Century.
Selama masa kerja pansus selama beberapa bulan, pansus telah memanggil semua pihak yang terkait dengan kasus Bank Century ini. Mulai dari manajemen Bank Century, KKSK, Menteri Keuangan, Gubernur BI bersama jajarannya, LPS, BPK, PPATK, pemilik saham, dan nasabah Bank Century, serta pihak-pihak lain yang terkait, termasuk Jusuf Kalla, Wakil Presiden yang saat kasus pengucuran dana itu terjadi sedang menjabat sebagai Presiden ad interim menggantikan SBY yang sedang berada di luar negeri.
Setelah masa kerja pansus berakhir, kasus ini belum juga menunjukkan ujungnya. Pansus terkesan hanya menjadi arena drama politik dan ajang meningkatkan bargaining position atau nilai tawar partai politik. Pihak-pihak terkait yang dipanggil ke DPR untuk memberikan keterangan di hadapan pansus, hanya memberikan jawaban normatif, bahkan seringkali mengutarakan ketidaktahuan mereka. Silang pendapat bermunculan. Perdebatan memanas tentang apakah keputusan pemberian PMS tersebut tepat atau tidak, mengapa sampai terjadi, dan sebagainya. Bahkan, sampai muncul dugaan dari beberapa pihak bahwa ada sebagian dana dari Rp. 6,7 T yang mengalir kepada partai dan capres-cawapres tertentu saat penyelenggaraan Pemilu 2009 lalu, dalam hal ini Partai Demokrat dan SBY-Boediono.
Di akhir perjalanan pansus, konflik-konflik lain mulai memanas. Perdebatan tidak hanya terjadi antara partai oposisi dengan partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan yang dibangun SBY dan Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu, namun juga terjadi perdebatan antar partai koalisi, seperti Partai Demokrat dengan Partai Golkar dan PKS. Tekanan dan dugaan upaya pengalihan isu pun menguat. Partai-partai yang bergabung di koalisi namun menunjukkan sikap tidak bersahabat dalam panitia angket mendapatkan sejumlah tekanan, seperti membuka kasus-kasus lain seperti tunggakan pajak, korupsi di Departemen Sosial, hingga ancaman reshuffle, atau bahkan secara terang-terangan, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Haryono Isman, meminta partai koalisi yang tidak sejalan untuk menarik kadernya dari kabinet.
Tepat pada hari Selasa, 23 Februari 2010, pansus angket Century pun menyampaikan pandangan akhir tiap fraksi. Dalam pandangan akhir tersebut, setidaknya tujuh fraksi, yaitu fraksi PDIP, fraksi Partai Gerindra, fraksi Partai Golkar, fraksi PKS, fraksi Partai Hanura, fraksi PAN, dan fraksi PPP menyatakan bahwa ada kesalahan dalam proses pemberian dana talangan untuk Bank Century tersebut. Sementara itu, dua fraksi lainnya, yakni fraksi Partai Demokrat dan fraksi PKB menyatakan bahwa pemberian dana tersebut telah sesuai dengan prosedur dan tidak ada yang bersalah. Beberapa fraksi, dalam pandangan akhirnya juga menyebutkan beberapa nama yang dianggap bersalah dan bertanggung jawab atas keluarnya dana negara sebesar Rp. 6,7 T yang kemudian tidak jelas kemana alirannya. Termasuk di antara nama-nama yang disebut adalah Boediono, Wakil Presiden RI saat ini yang dahulu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia saat kasus ini terjadi. Sri Mulyani, Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 1 dan 2 juga dianggap bertanggung jawab, dengan jabatannya sebagai ketua KSSK saat pemberian dana talangan.
Dalam rapat paripurna DPR RI pada Selasa, 2 Maret 2010, pansus membacakan pandangan akhirnya dengan mengajukan dua opsi pilihan. Pilihan pertama atau disebut opsi A, yaitu bahwa kebijakan mem-bailout Bank Century adalah dibenarkan karena alasan krisis ekonomi global pada saat itu, namun pada pelaksanaan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), PMS, dan sebagainya terdapat penyimpangan-penyimpangan yang harus ditelusuri lebih lanjut. Sedangkan pilihan kedua, atau disebut sebagai opsi C menyimpulkan bahwa baik kebijakan maupun pelaksanaan pada proses pemberian dana talangan kepada Bank Century ini semuanya adalah salah.
Rapat paripurna DPR RI ini diwarnai juga dengan aksi demonstrasi oleh berbagai elemen massa yang ingin mengawal rapat paripurna agar menghasilkan keputusan yang sesuai dengan apa yang diharapkan rakyat. Demonstrasi berlangsung serentak di depan gedung DPR serta di berbagai kota lain seperti Makassar, Yogyakarta, Bandung, dan lainnya. Proses pengambilan keputusan dilaksanakan pada 3 Maret 2010, setelah sempat pada paripurna hari pertama (02/03/10) mengalami kericuhan yang dipicu oleh kurang akomodatifnya Ketua DPR, Marzuki Alie yang memimpin jalannya rapat paripurna.
Pada hari kedua, walaupun proses berjalan alot, dipenuhi berbagai dinamika dan diwarnai hujan interupsi, akhirnya Rapat Paripurna pun memutuskan opsi C sebagai pilihan paripurna setelah melewati mekanisme voting atau pemungutan suara dari seluruh anggota DPR RI yang hadir. Dalam pemungutan suara tersebut, ada enam fraksi, yakni fraksi Partai Golkar, fraksi PDIP, fraksi PKS, fraksi Partai Gerindra, dan fraksi Partai Hanura, serta fraksi PPP yang memilih opsi C. Sedangkan tiga fraksi lainnya, yaitu fraksi PD, fraksi PAN, dan fraksi PKB memilih opsi A. Satu hal menarik yang juga cukup mendapat perhatian adalah adanya satu orang anggota fraksi PKB, Lily Wahid yang berbeda pilihan dari apa yang menjadi pilihan fraksinya. Lily, seorang diri dari fraksi PKB yang memilih opsi C. 325 berbanding 212 untuk kemenangan opsi C.
Satu hari pasca sidang paripurna, Presiden SBY berpidato di Istana menanggapi hasil paripurna DPR. Dalam pidatonya, SBY kembali menegaskan pembelaannya terhadap kebijakan bailout dan kepada Boediono dan Sri Mulyani. SBY menyebut bahwa kebijakan tersebut sudah tepat dan bahkan mengatakan bahwa Boediono dan Sri Mulyani adalah pihak yang berjasa menyelamatkan perekonomian Indonesia. Pidato SBY tersebut seakan menafikan hasil Rapat Paripurna DPR RI. Satu babak drama kasus Bank Century telah selesai. Namun, bukan berarti selesai begitu saja. Apa yang diputuskan oleh rapat paripurna DPR tentu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Desember 2012 Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan kepada tim pengawas Bank Century di DPR bahwa Budi Mulya dan mantan Deputi Gubernur BI Siti Fajriah bertanggung jawab atas kerugian negara akibat penggelontoran dana talangan Century.
Februari 2013 KPK menetapkan Budi Mulya sebagai tersangka atas dugaan bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang terkait pemberian FPJP dan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
15 November 2013 KPK menahan Budi Mulya setelah diperiksa untuk pertama kalinya sebagai tersangka. 6 Maret 2014 Budi Mulya menjalani sidang pertama. 16 Juni 2014 Jaksa menuntut Budi Mulya dengan pidana penjara 17 tahun dan denda 800 juta karena menyalahgunakan kewenangan atau tindakan melawan hukum terkait penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek sehingga merugikan keuangan Negara Rp7 triliun.
16 Juli 2014,  Budi divonis penjara 10 tahun dengan denda Rp 500 juta subsider kurungan 5 bulan karena terbukti terlibat kasus korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank Century dan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
9 April 2015, Mahkamah Agung menerima kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi atas mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya yang merupakan terdakwa kasus Century. Dengan demikian, hukuman yang diterima Budi Mulya diperberat menjadi 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan.
10 April 2018, Pengadilan Jakarta Selatan memerintahkan KPK untuk memproses kembali kasus korupsi Bank Century dan menetapkan Boediono sebagai tersangka.Perkembangan kasus Bank Century ini dari waktu ke waktu tidak terlepas dari peranan media yang selalu memberikan pantauan dan laporan perkembangan kasus tersebut. Melalui media juga, masyarakat akhirnya mengetahui seluk beluk kasus ini, yang sebelumnya tidak terungkap ke publik.

Analisis Kasus dengan Teori
Masalah yang muncul dalam kasus Bank Century adalah diawali dengan jatuh temponya sekitar US$ 56 juta surat-surat berharga milik Bank Century yang akhirnya gagal bayar. Bank Century menderita kesulitan likuiditas. Akhir Oktober 2008, CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal Bank Century minus 3,53%  hingga  gagalnya kliring atau tidak dapat membayar dana permintaan nasabah oleh Bank Century yang diakibatkan oleh kegagalan menyediakan dana (prefund) sehingga terjadi rush. Laporan LPS menyebutkan dari 8.577 nasabah penyimpanan yang menarik simpanannya, sebanyak 7.770 nasabah atau 91 persen merupakan nasabah perorangan. Sebanyak 807 atau 9 persen merupakan nasabah korporat/ BUMN. Adapun jumlah pembayaran kepada nasabah perorangan sebesar Rp 3,27 triliun atau 81 persen dari total penarikan simpanan. Sebanyak 8.249 nasabah (96 persen) merupakan nasabah penyimpanan dengan nilai di bawah Rp 2 miliar. Nilai penarikan nasabah golongan ini mencapai Rp 2,19 triliun atau 54 persen. Sedangkan 328 nasabah (4 persen) merupakan pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Penting tidaknya masalah diukur berdasarkan dampaknya bagi operasional dan reputasi organisasi secara menyeluruh. Jadi, meskipun masalah dan isu sama-sama sebagai tantangan, tidak semua masalah disebut isu tetapi setiap isu  pasti mengandung masalah (Kriyantono, 2015, h. 154). Kriyantono juga mengacu pada tulisan Jaques (2004) dan Harrison (2008) bahwa isu dapat diformulasikan “Masalah + Dampak = Isu”.
Chase (dikutip dalam Kriyantono, 2015, h.38) menjelaskan bahwa isu sebagai “an unsettled matther which is ready for decision”. Isu sebagai permasalahan yang belum terselesaikan dan karenanya perlu keputusan cepat untuk mengatasinya..Ketimbang harus menutup bank yang dikhawatirkan akan memicu rush (penarikan uang besar-besaran) dan kepanikan di masyarakat, pemerintah dan BI melalui KSSK memilih memberi bantuan dana talangan pada Bank Century agar tetap beroperasi. Dalam penyelamatan bank, otoritas tidak melihat bank sebagai entitas semata, tetapi dampaknya bagi perbankan dan perekonomian secara luas. Pemberian dana talangan kepada Bank Century harus dilakukan. Jika pemerintah membiarkan bank jatuh pada Oktober-November 2008, Indonesia diyakini akan mengalami krisis seperti yang terjadi tahun 1997/1998, dan biayanya sangat luar biasa, termasuk biaya sosial dan politik. Isu inilah yang muncul di publik dan membuat pemerintah harus memikirkan keputusan yang tepat dalam menangani hal ini. Isu yang beredar mengatakan bahwa Bank Century sebagai bank gagal dan akan tutup menjadi kekhawatiran masyarakat atau nasabah bank .
Isu Bank Century ini pada awalnya dapat dikatakan termasuk kedalam kategori isu internal organisasi, karena hanya diketahui oleh pihak manajemen dan anggota organisasi lainnya. Pada akhirnya, isu ini diberitakan oleh media dan mengungkap beberapa fakta-fakta yang berkembang sehingga muncul isu eksternal yang membuat ancaman terhadap organisasi dan harus mempertahankan diri agar tidak mengalami kerugian reputasi. Perkembangan kasus ini cukup menyita perhatian publik dan masyarakat dan dapat dianalisis bagaimana perkembangan isu ini dalam tahapan perkembangan isu (life cycle). Public relations diharapkan dapat memahami tahapan perkembangan ini karena tipisnya perbedaan antara isu dan krisis, karena dengan ini dapat menentukan jenis respons yang tepat dalam organisasi (Kriyantono, 2015, h.164).
Apabila diidentifikasi dalam Tahap Potential Stage kasus Bank Century ini isu dapat dijelaskan ketika Bank Century telah mengalami masalah likuiditas, pihak Bank Century telah melakukan tindakan-tindakan tertentu berkaitan dengan isu ini. Dapat dibuktikan ketika Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang terdiri dari BI, Menkeu, dan LPS mengadakan pertemuan membahas permasalahan Bank Century pada akhir Oktober 2008, CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal Bank Century minus 3,53%.
Selanjutnya, tahap Imminent Stage menurut Kriyantono (2015, h.166) adalah ketiku isu bekembang karena isu-isu tersebut telah mempunyai dukungan publik, yakni kelompok-kelompok yang saling mendukung dan memberikan perhatian pada isu tersebut. Media sudah mulai memberitakan kasus Bank Century ini sehingga isu semakin berkembang pada tahap ini.
Critical Stage kasus Bank Century terjadi ketika LPS mulai memberi bantuan dana talangan terhadap Bank Century hingga 6,76 triliun untuk  membantu memulihkan keuangan Dalam catatan LPS, biaya penanganan mencapai Rp 6,76 triliun, di mana Rp 5,31 triliun disetorkan secara tunai melalui rekening giro Bank Century di Bank Indonesia. Kemudian Rp 1,54 triliun berbentuk penyerahan Surat Utang Negara (SUN). Dari total dana tersebut sebagian besar, yakni Rp 4,02 triliun atau 59 persen digunakan untuk membayar kewajiban bank kepada 8.577 nasabah penyimpanan. Kemudian Rp 2,25 triliun atau 33 persen masih berupa aset Bank Century dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FaSBI), surat utang negara (SUN), dan Giro Wajib Minimum (GWM). Adapun sisanya Rp 490 miliar atau 8 persen dipakai untuk membayar pinjaman antar-bank, Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), biaya real-time gross settlement (RTGS) dan denda GWM, serta pembelian valuta asing. Dalam Critical Stage ini juga sudah terbagi dalam dua kelompok, yakni setuju dan menentang atas keputusan oleh Bank Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan ketika Pansus angket Century yang dibentuk untuk mempelopori pengajuan hak angket menyampaikan pandangan akhir tiap fraksi. Setidaknya tujuh fraksi, yaitu fraksi PDIP, fraksi Partai Gerindra, fraksi Partai Golkar, fraksi PKS, fraksi Partai Hanura, fraksi PAN, dan fraksi PPP menyatakan bahwa ada kesalahan dalam proses pemberian dana talangan untuk Bank Century Sementara itu, dua fraksi lainnya, yakni fraksi Partai Demokrat dan fraksi PKB menyatakan bahwa pemberian dana tersebut telah sesuai dengan prosedur dan tidak ada yang bersalah.
Dormant Stage adalah ketika isu telah melewati siklus perkembangannya dan organisasi telah melewatinya meski mengeluarkan energi besar, waktu lama dan biaya besar. Publik sudah puas karena pertanyaan seputar isu “dapat terjawab” dan pemberitaan media mulai menurun. Hal ini ditandai ketika telah diputuskan vonis bersalah pada Budi Mulya selaku mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa dengan hukuman 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan. Tetapi, muncul kembali kasus Bank Century ini pada September 2018 setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Masyarakat Antikorupsi (Maki) terhadap KPK terkait lambannya penanganan kasus Century. Dalam putusannya, Hakim tunggal PN Jaksel, Effendi Mukhtar memerintahkan termohon, yakni KPK untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan. Sesuai dengan pendapat Kriyantono (2015, h.169) bahwa dalam tahap ini, memang memungkinkan isu muncul kembali sampai seseorang memunculkan kembali dengan pemikiraan dan persoalan baru atau muncul isu baru yang mempunyai keterkaitan dengan isu sebenarnya.
Chase (dalam Kriyantono, 2015, h. 174) mendefiniskan manajemen isu sebagai sebuah alata yang dapat digunakan perusahaan untuk mengidentifikasi, menganalisis dan mengelola isu-isu yang berkembang dan merespons isu-isu sebelum menjadi pengetahuan publik. Dalam kasus ini, manjemen isu yang dilakukan adalah ketika Bank Century meminta pendanaan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi masalahnya, dan BI mengirimkan surat kepada Menkeu, yang berisikan pemberitahuan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan memerlukan penanganan lebih lanjut. BI kemudian mengusulkan dilakukannya langkah penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan munculnya akibat-akibat  yang negatif/ merusak sebagai hasil suatu aktivitas organisasi (Walaski, dalam Kriyantono, 2015, h.176). Harrison (2008) mengatakan bahwa Manajemen risiko adalah proses untuk mengurangi risiko yang lebih besar yang disebabkan tidak berfungsinya aktivitas organisasi. Risiko dalam kasus Century ini adalah ditutupnya Bank Century dan dinyatakan sebagai bank gagal. Sedangkan, manajemen risiko yang dilakukan adalah ketika tim Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang terdiri dari BI, Menkeu, dan LPS berperan dalam putusan penyelamatan Bank Century dengan memberikan dana talangan yang berupaya membantu mengembalikan uang nasabah dan berusaha agar bank tidak tutup yang nantinya akan menimbulkan kekhawatiran nasabah Bank Century dan yang lebih parah lagi terjadinya rush (penarikan uang secara bersamaan dalam jumlah yang besar)
Devlin (dikutip di Kriyantono, 2015, h.196) mendefiniskan krisis sebagai sebuah situasi yang tidak stabil dengan berbagai kemungkinan menghasilkan dampak yang tidak diinginkan. Kriyantono (2015,h.195) mengatakan bahwa Secara umum, ada tiga kemungkinan dampak krisis bagi organisasi, yaitu : (a) organisasi tutup, diakuisisi oleh organisasi lain atau dinyatakan bangkrut; (b) organisasi masih eksis tetapi mengalami kerugian finansial, kehilangan kepercayaan publik, dan kehilangan market share, sehingga membutuhkan waktu untuk kembali; dan (c) organisasi dapat menjaga reputasi dan bahkan dapat lebih baik dari saat sebelum ditimpa krisis. Dalam kasus Bank Century, dampak krisis yang terjadi adalah organisasi tutup, diakuisisi oleh organisasi lain atau dinyatakan bangkrut. LPS pada 2014 berhasil menjual Bank Mutiara (eks Bank Century) kepada J Trust, asal Jepang dengan harga penjualan atas 99 persen saham Bank Mutiara sebesar Rp 4,411 triliun, dan menjadi masalah karena  harganya jauh di bawah biaya bailout.
Kasus Bank Century tidak berhenti sampai disini, kasus ini berlanjut pada 2018 setelah 3 tahun sudah tidak lagi muncul pada pemberitaan publik. Ada yang menarik dalam perkembangan kasus Century ini, muncul juga rumor bahwa Presiden SBY terlibat kasus dalam Bank Century ini. Hal ini dibuktikan dalam Artikel Asia Sentinel yang dimuat pada Selasa, 11 September 2018 dengan berjudul, "Indonesia's SBY Goverment: Vast Criminal Conspiracy". Pemberitaan itu menyebut SBY telah menerima aliran dana gelap sebesar Rp 177 triliun dari Bank Century. selanjutnya sempat dihapus oleh Asia Sentinel setelah dilakukan protes oleh Demokrat dan dinaikkan kembali berita lainnya pada Sabtu, 15 September dengan judul jika berita terkait SBY dan Century telah menjadi pemberitaan yang viral.
            Kasus Bank Century ini sudah dapat dikatakan sebagai krisis karena sesuai dengan salah satu karakteristik krisis yaitu menimbulakan Dampak Positif atau Negatif bagi Operasional Organisasi. Kriyantono (2015, h.203) menejlaskan bahwa krisis dapat diidentifikasi ketika dampaknya dapat bersifat merusak atau negatif, seperti penurunan profit, boikot produk, bangkrut, dituntut secara hukum, banyak manajer senior dan karyawan yang keluar, penurunan kepercayaan publik, pemerintah dan publik tiada henti-hentinya memeberikan perhatian besar atau bahkan menginvestigasi organisasi, mengancam reputasi dan nama organisasi, perubahan yang bersifat tidak produktif (misalnya, kehilangan modal, pengunduran diri karyawan dan pemutusan hubungan kerja massal, dan hilangnya waktu untuk mengatasi konflik).
Disisi lain, sumber krisis yang terjadi pada kasus ini adalah krisis manajemen dan perilaku karyawan karena gagalnya melaksanakan tanggung jawab seperti korupsi yang telah dilakukan, take over, masalah keuangan (Kriyantono, 2015, h. 207). Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan kepada tim pengawas Bank Century di DPR bahwa Budi Mulya dan mantan Deputi Gubernur BI Siti Fajriah bertanggung jawab atas kerugian negara akibat penggelontoran dana talangan Century. Ini membuktikan bahwa sumber krisis terjadi pada kasus ini adalah masalah korupsi yang terjadi dalam proses penyelesaian permasalahan Bank Century.



DAFTAR PUSTAKA
Kriyantono, R. (2015). Public Relations, Issue & Crisis Management: Pendekatan Critical Public Relations, Etnografi Kritis & Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Adiyudha, R. 2018. Demokrat Laporkan Asia Sentinel ke Dewan Pers. Diakses pada 19 September 2018 dari :

Andriyanto, H. 2018. Babak Baru Kasus Century. Diakses pada 19 September 2018 dari:

Anonim. 2014. Kilas Balik Kasus Bank Century. Diakses pada 19 September 2018 dari :
Anonim. 2014. Bank Century: Budi Mulya divonis 10 tahun. Diakses pada 19 September 2018 dari:

Anonim. 2014. Boediono Sebut Dana Talangan Cegah Krisis. Diakses pada 19 September 2018 dari :

Dwiyana, I. 2014. Krisis Bank Century Dipicu Masalah Likuiditas. Diakses pada tanggal 19 September 2018 dari:

Fajrian, 2018. Kronologi Kasus Bank Century Seret Nama Boediono. Diakses pada 19 September 2018 dari :

Movanita, A. 2015. Kasasi KPK Dikabulkan, Hukuman Budi Mulya Diperberat Jadi 15 Tahun Penjara. Diakses pada 19 September 2018 dari :

Ramadhan, B. 2014. Ini Kronologis Kasus Bank Century. Diakses pada 19 September 2018 dari :
https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/06/n20q0m-ini-kronologis-kasus-bank-century